Tuesday, November 22, 2011

BUKAN JULIET

Kata orang… cinta itu BUTA. Benarkah??? Pernahkah kalian menonton sebuah film romantis? Bagaimana cinta itu tumbuh… Subhanallah… indahkan melihatnya? Apalagi merasakannya, teramat sangat indah. Katanya sich… :D
Namun, setelah tumbuhnya cinta itu, terkadang kita sebagai manusia belum faham harus dibawa kemana dan bagaimana mengolah cinta itu. Coba saja kita lihat cerita-cerita di sinetron atau film lepas. Ada yang ending ceritanya itu bahagia, ada juga yang akhir ceritanya malah buat kita kesal dan sedih (kayak film Titanic, sad ending khan?! Kalau Romeo and Juliet? Sedih juga…) seperti itu juga cerita cinta dalam dunia nyata. Aaah… jadi takut jatuh cinta… tapi nggak semua gitu kali yua?! ;) kalau kita tetap mengimbanginya dengan iman kita, janganlah mencintai makhluk lain melebihi cinta kita kepada sang maha esa, Allah SWT karena itulah yang membuat kita buta.

Berjuta ketakutan akan selalu hinggap
Membuat aku terkadang tersedu . . .
Jiwaku tak mampu membohongi diri
Begitu besar Yang Maha Agung berikan
Cinta dan sayang kepadamu kekasihku.
Dunia-pun menatapku heran . . .
Mengapa yang dulu seolah acuh
Kini berganti kelabu . . .
Mengapa yang dulu seolah ragu
Kini berganti erat tergenggam . . .
Mengapa yang dulu seolah dendam
Kini berganti jatuh dalam rasa . . .
Mengapa yang dulu seolah perwira
Kini berganti tak berdaya . . .
Akulah yang menangis dalam deritamu
Akulah yang menanti dalam perjuanganmu
Akulah yang kelak bersorak dalam kemenanganmu
Akulah gadis yang setia berada dalam hatimu

21:40:01
Dalam nafasku dan disetiap darah yang menjalar disetiap urat-uratku
Hanya ada satu cintaku . . .
Dalam hatiku dan disetiap langkah disetiap hari-hariku
Hanya ada satu cintaku . . .
Dalam sepiku dan disetiap mimpiku disetiap angan-anganku
Hanya ada satu cintaku . . .
Dalam jiwaku dan disetiap pelukku disetiap hangat belaiku
Hanya ada satu cintaku . . .
Demi Allah . . . Yang Maha Segalanya
Yang menciptakanmu cintaku . . .

20:36:42
Kungin kau tahu . . .
Sesungguhnya diriku rindukan sosokmu yang dulu . . .
Ketika putih abu masih menempel ditubuh,
Ketika cinta masih diam – diam tumbuh,
Ketika asa bergejolak mengecam raga,
Kuingin kau tahu . . .
Sesungguhnya diriku rindukan sosokmu yang dulu . . .
Tanpa harus mengulang waktu . . .

Aku masih asyik dengan beberapa puisi Adel… di depan cermin itu aku memandangi tawanya, candanya, bahkan tangisnya. Perempuan manis yang baik hati, sudah seperti bidadari saja… dia adalah perempuan yang sempurna di mataku, kadang aku iri padanya. Tapi sungguh dia sahabat yang paling baik yang pernah kukenal.
*
“Aku mau nikah…” ujar Adel sambil tersenyum,
“Beneran Del…? Congratulation say… akhirnya… your dream will be come true…!” aku langsung memeluk tubuh mungil Adel.
Sejujurnya aku tidak begitu yakin dengan rencana pernikahan Adel, tapi aku selalu membuang kekhawatiran itu jauh-jauh. Adel perempuan yang sangat polos. Setahuku dia adalah perempuan yang sangat kreatif dan antusias dalam menghadapi hal yang baru. Dia tidak pernah takut dengan hal apapun, keceriaannya selalu membuat aku dan teman-teman yang lainnya nyaman walaupun dia tidak pernah banyak bicara namun dia termasuk orang yang bijak dalam mengambil keputusan. Bahkan ketika aku sedang dalam masalah, dialah yang selalu menenangkanku.
Tapi setelah dekat dengan Jodi… segalanya berubah…
Dia tidak seceria dulu… sudah tidak pernah kulihat guratan senyum diwajah manisnya, bahkan ketika dia menceritakan rencana pernikahannya bersama Jodi. Lelaki aneh yang sangat dia cintai selama bertahun-tahun. Jodi terlihat begitu menyayangi Adel, dia bahkan tidak pernah malu memperlihatkan kemesraannya di depan umum. Namun bagiku itu terlalu berlebihan… Adel mungkin tidak pernah merasa terpaksa dengan apa yang dia lakukan untuk Jodi, tapi aku merasakan begitu sakitnya dikecewakan oleh orang yang kita cintai… itu yang dirasakan Adel.
Perjalanan cinta mereka sesungguhnya tidak begitu mulus, selama bertahun-tahun dari mulai kami duduk di bangku SMA… mereka selalu putus nyambung dengan berbagai alasan. Tapi tak kusangka, Adel yang selalu cepat bosan dengan lelaki ternyata mampu setia hanya untuk Jodi. Hingga mereka melanjutkan kuliah, walaupun di universitas yang berbeda mereka masih selalu meluangkan waktu bersama. Kadang aku iri pada mereka dan kadang aku bangga pada mereka… tapi itu tidak lagi setelah aku sadar mereka terlalu lama pacaran dan lama-lama sifat Jodi berubah. Kata pacaran-pun berubah tidak wajar dan tidak normal.
**
“Ta…gue ke tempat loe yach…” pinta Adel sambil menangis ditelepon,
“Kenapa lu Del?” tanyaku kaget setelah sebelumnya ada belasan telepon tidak terjawab darinya. Saat itu aku benar-benar sibuk dengan pekerjaan di kantor. Sebagai pegawai baru yang masih dalam masa percobaan, aku belum berani buka-buka hp saat kerja. Apalagi pekerjaan mbak Indah, admin sebelumnya banyak sekali. Aku harus mampu menyelesaikannya sebelum akhir bulan…
“Gue pengen cerita…” jawabnya dengan suara parau,
“Mmm… gue masih banyak kerjaan nich masih di kantor, kayaknya juga bakal pulang malem. Besok siang aja yach gue kerumah loe Del?”,
“Ya udah… gue tunggu ya Ta…” jawab Adel.
***
“Jo… aku nggak kuat, sakit. Bisa kan kamu kesini sekarang?” rengek Adel lewat handphonenya,
“Tapi aku lagi kerja Del… nanti sore lah yach?!” tegas Jodi,
“Aku nggak kuat Jo… kamu mau aku bilang sama mamah?” Adel mulai menggertak,
“Oke…oke aku kesana sekarang…!” jawabnya sedikit kesal.
Adel berbaring sambil menangis menahan sakit, mungkin karena obat yang diminumnya semalam sudah bereaksi atau mungkin karena dua hari ini Adel selalu minum obat tidur dengan dosis tinggi.
“Tok…tok…” ada yang mengetuk pintu kamar Adel,
“Siapa…?”
“Ada Kak Jodi didepan!” sahut Ina, adiknya dari balik pintu.
“Suruh kesini aja Na… Kak Adel gak kuat gak enak badan…!” pinta Adel,
Jodi masuk dan membuka pintu kamar Adel, “Kenapa kamu sayang…?” Jodi menghampiri Adel yang masih berbaring lemas.
“Perut aku sakit banget… badan aku juga lemes banget Jo… pusing kepalanya, aku nggak kuat bangun…” jawab Adel sambil menitikkan airmata,
“Udah dech Del jangan manja… ayo bangun…!” Jodi menarik lengannya,
“Aku bener-bener nggak kuat Jo… bawa aku ke dokter aja yach…” pinta Adel,
“Mau ke dokter apa?”
“Aku bener-bener nggak kuat Jo… kamu kasih obat apa sich kemarin?” Tanya Adel,
“Udah tenang aja. Nggak akan ada apa-apa, nggak usah ke dokter dulu. kamu percaya sama aku sayang yach…?”
Adel hanya mampu menangis menahan sakitnya, “Apa karena aku minum obat tidur juga ya semalam jadi malah kayak gini…”
“Apa…? Kamu minum obat tidur?” Jodi melihat ada bungkusan obat tidur di meja, “Kamu minum berapa tablet?” Tanya Jodi dengan nada tinggi karena kaget,
“Nggak tau Jo… aku semalam nggak bisa tidur jadi aku minum terus minum lagi…” jawab Adel setengah sadar,
“Adel… kamu ini kenapa sich???!”
“Drrrrrt…” Jodi membuka Hp-nya yang bergetar dan menerima panggilan,
“Hallo… iya kang… oh… iya… siap-siap, sebentar lagi saya kesana”
“Kamu mau kemana lagi?” Tanya Adel ketika Jodi menutup Hp-nya,
“Aku harus pergi dulu sayang, ada rapat dulu sebentar. Nanti aku kesini lagi, okeh?” begitu saja Jodi pergi meninggalkan Adel yang masih berbaring tak berdaya.
****
“Ah… sial, beberapa hari kerja aja badan gue dah lemes gini. Hmh… apa gue resign aja kali yach…” Aku melamun dan sesekali menatap cermin, tubuhku semakin kurus saja… jangan-jangan aku memang gak cocok kerja dikantoran. Aku mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar sambil berpikir… kira-kira pekerjaan apa yang cocok untuk orang seperti aku ini. Mataku menangkap beberapa foto yang sengaja dulu aku tempel di dinding kamar. “Dulu badan gue lumayan berisi pake kebaya itu…”, aku pandangi foto itu… foto romeo and Juliet, aku dan kekasihku… hehehe…
Cerita cinta yang aneh… aku selalu merasa menjadi sangat istimewa jika berada didekatnya. Tubuhnya tidak begitu kekar, karena memang dia bukan atletik… tapi dia adalah sosok yang tahan banting selalu berusaha melakukan apapun hanya untukku. Wajahnya tidak begitu tampan, tapi selalu saja dia membuat aku cemburu dengan banyaknya teman perempuan yang dekat dengannya. Sikapnya memang sedikit arogan dan dingin, tetapi karena itulah dia mempunyai pendirian yang teguh dan selalu membuat perempuan tertarik untuk lebih mengenalnya termasuk aku.
*****
“Setan lu… brengsek…!!!”
“Heh… suruh siapa lu mau ma cowok brengsek kayak gue?”
Adel tak mampu menahan sakit didadanya… amarahnya memuncak seketika, semua kata-kata kasar keluar tidak seperti biasanya.
“Bisa gak sich loe sabar dikit aja Del…?” teriak Jodi,
“Gue udah nunggu loe bertahun-tahun dan loe bilang gue gak sabar? Gue mesti gimana lagi Jo? Sekarang keadaan udah kayak gini dan loe gak mau tanggung jawab?”,
“Bukan gue gak mau tanggung jawab, tapi loe harus sabar…” Jodi hanya mengulang kata yang sama,
“Kenapa sich loe gak ngehargain gue…? Pengecut! Gue benci sama loe! Setan!” amarah Adel seakan tidak terkendali lagi, ia menutup gagang telepon dan menangis sambil teriak-teriak kayak orang kesurupan…
“Punya apa loe mpe gue mau sama loe? Ganteng nggak, kaya nggak! Sialan loe udah ngegantung gue kayak gini! Loe kira gue gak bisa dapetin cowok yang lebih dari loe? Gue sumpahin loe nggak akan pernah bisa dapetin cewek yang lebih dari gue, dan semua sodara cewek lu bakalan ngerasain sakit yang lebih dari ini!” Adel bersumpah serapah saking kesalnya,
“Sayang… udah jangan teriak-teriak… malu sama tetangga…!” mamah mencoba menenangkan Adel, “Biarin… jangan sedih, biar nanti dia rasain sendiri kehilangan kamu kayak gimana. Biar Allah yang membalasnya” mamah membelai rambut Adel sambil memeluk tubuhnya yang semakin kurus.
“Aku nggak nyangka mah… dia tega udah buat aku menderita kayak gini. Sakit mah… Aku udah coba mempertahankan segalanya untuk dia, tapi dia malah menyia-nyiakan semua…”
******
“Adel… ya ampun… Adel gimana kabarnya sekarang…?” aku teringat Adel, terakhir kali aku janji mau menemuinya… dan sudah satu bulan… aku tidak tau kabarnya.
Aku bangun dan bergegas keluar rumah menemui Adel.
“Kemana aja loe Ta… hk…hk…hk…” Adel menangis sambil memelukku,
“Loe kenapa…?” tanyaku kaget,
“Kenapa loe baru datang? Gue sakit selama ini Ta… gue sakit… semua gara-gara Jodi… cowok brengsek yang udah ngancurin hidup gue Ta…”
“Maksud loe… ngancurin gimana? Bukannya loe mau nikah ma dia?” Tanyaku semakin tidak mengerti,
“Gue tau ini salah… gue sangat berdosa Ta, benar-benar kotor. Hubungan gue benar-benar sudah tidak wajar. Dan gue masih saja nurut sama dia, gue masih saja setia kayak orang bego. Bener-bener bodoh gue Ta…” Adel menangis lagi…
Aku hanya mampu menyeka airmatanya, “Gak apa-apa Del… nangis aja keluarin semuanya… cerita kalo loe pengen cerita… gue selalu ada disini buat loe…”
“Ta… gue sakit hati. Kenapa tidak ada seorang-pun yang mengerti dan belain gue? Kenapa mereka begitu egois? Gue sakit Ta…” Adel bercerita sambil tersedu-sedu, “Gue emang terlalu polos sampai gue rela ngasih apa aja buat Jodi termasuk kehormatan gue… gue kira dia bener-bener mau nikahin gue Ta…”
Kali ini aku memandangi Adel tak percaya… benarkah wanita seperti dia rela sebegitunya melakukan apapun demi Jodi??? Aku benar-benar tidak percaya.
“Dan akhirnya gue hamil…! Dia malah kasih obat buat ngegugurin kandungan gue Ta. Sampai gue sakit dan gak kuat, gue certain hal ini ma nyokap. Tadinya dia bilang mau ngebelain gue, pertahanin janinnya dan ngusahain gue tetep nikah ma Jodi. Tapi setelah dia ketemu ortunya Jodi… mereka semua malah berupaya gugurin kandungan gue. Mereka kasih gue berbagai macam obat, sampai akhirnya gue di bawa ke dokter dan... Mereka bilang kalau dipertahankan ini akan berbahaya karena gue udah minum macam-macam obat. Akhirnya gue nurut aja, karena Jodi janji mau nikahin gue setelah itu. Tapi apa yang gue dapet sekarang ta…? Setelah semua gue korbankan… gue sakit gue lemah gini, mana dia…? Mana keluarganya? Apa mereka perduli? apa yang mereka bisa lakuin buat gue?”
“Jadi sekarang janin loe…?”
“Udah nggak ada Ta…” adel menunduk dan menangis lagi, ada kepiluan yang tak berujung dimatanya… tak mampu kubayangkan betapa sakitnya ia menahan semua itu, “Loe tau kan itu dosa, dan ngebunuh janin loe itu tambah dosa lagi Del…? Loe nggak sayang ma diri loe?” Tanyaku agak kesal,
“Gue tau Ta… tapi gue gak punya siapa-siapa… semua mojokin gue, semua egois memutuskan itu semua tanpa mikirin perasaan gue. Sekarang mereka cuek aja seolah nggak ada apa-apa. Dan Jodi… dia seolah menjauh Ta… dia bener-bener berubah, dia udah gak sayang sama gue… dia udah nggak peduli ma gue Ta… sekarang gue sendiri”.
“Loe nggak sendiri Del… masih ada gue… loe harus berubah… inget Allah selalu ada buat hambanya”
“Berubah untuk siapa…? Gue udah nggak ada harganya, gue udah kotor begitu-pun dimata Allah. Gue udah ngecewain keluarga gue, ngancurin masa depan gue sendiri, dan sekarang gue dibuang gitu aja sama Jodi… buat apa lagi gue hidup…?” Adel mengambil sebuah gunting dari mejanya….tak sedikit-pun mendengarkan aku. Tak ada yang bisa kulakuan untuk Adel, sampai beberapa saat kemudian…
“Tok…tok…”, “Kak…?” Ina mengetuk kamar Adel,
“Kenapa nggak nyahut sich… Kak… Ina masuk yach…?” Ina membuka kamar Adel yang tak terkunci, “Astagfirullah… Kak…?” Ina kaget ketika melihat tubuh Adel terbaring dilantai dengan lengan yang berdarah.
“Kak… bangun…” Ina mencoba membangunkan kakaknya, lantas ia melihat kesamping tubuh Adel…
‘Entah untuk berapa lama aku menahan kesakitan ini… dan untuk apa untuk siapa?
Kenapa yang mereka tau hanya tentang dia… bukan aku…
Hingga aku yang tersudut… seolah kesalahan ada padaku…
Tidak akan sedikit-pun aku menyingkap segalanya…
Mereka tidak akan tau bahkan mengerti…
Bagaimana aku pertahankan cinta ini,
Biar sendiri ku simpan karena terbuang-pun akan tetap membekas,
Jika-pun ada satu pijakan, aku tetap rapuh tak berarti
Sampai habis waktu ini… masih ada cinta untuknya dan perih…
Namun jika aku tiada… aku tiada bukan seperti sang Juliet
Aku hanya serpihan kotor tak berarti’
Adelia Pramitha
“Kak Ita… kenapa kakak jadi kayak gini… hk…hk…hk…” Ina hanya mampu menangis setelah membaca selembar kertas putih kotor dengan noda merah tergeletak disampingnya. Sesosok wanita dengan tubuh mungil yang kurus dengan rambut pendek yang tak beraturan… pipi yang biasanya merona sudah kusam dan dingin, matanya sembab setelah satu bulan hari-harinya hanya mengurung diri dan menangis dikamar. Matanya hanya memandangi sebuah foto kecil, wanita berkebaya dengan lelaki berjas hitam yang digandengnya. Aku dan Jodi.
-The end-

Monday, July 11, 2011

CEWEK JUTEK at LONTONG KARI KAMPUS

Hari itu adalah hari kedua gue datang ke Bandung setelah daftar di sebuah Sekolah Tinggi Bahasa di daerah Cihampelas. Saat itu kampus penuh dengan mahasiswa baru, termasuk gue yang masih celingukan nyari orang yang bisa diajak kenalan heuheuheu… maklumlah orang pendiem kayak gue sedikit kesulitan mencari teman.
“Jam berapa tes-nya nak?” Tanya mamah,
“Setengah delapan mah… masih lumayan setengah jaman lagi” jawab gue yang masih mandangin kampus baru tempat gue nuntut ilmu nantinya hahaha……..
“Ya udah kita cari makan aja dulu yuk… nanti gak konsen kalo perut kosong, mana tesnya sampai siang lagi…” kata mamah sambil celingak-celinguk nyari yang jualan depan kampus. “Yawdah dech… ayuk…” jawab gue sambil narik lengan Detu, ade gue yang juga ikut nganterin. Selain ade gue, Mang Diar adenya papah juga ikut nganterin.
“Makan lontong kari aja yuk…tuch ada yang jualan kupat sama nasi kuning” ajak mamah sambil menunjuk sebuah tenda depan kampus, untungnya masih kosong jadi kita leluasa makan disana.
Dan tak lama kemudian ada beberapa orang yang memesan lontong kari juga. Sepertinya mereka juga lagi nganterin anaknya yang tes sama kayak gue hehehe… dan duduklah mereka di depan kami. Cewek seumuran gue duduk pas depan gue, sayang… muka juteknya buat gue males nanya hwahahaha……
“Nganter yang tes juga bu?” Tanya mamah,
“Oh iya… ibu juga? Darimana?” seorang wanita seumuran mamah menjawab, dan mereka-pun mengobrol banyak mulai dari mana kami tinggal dan rencana anak-anaknya yang mau kuliah. Bahkan mereka janjian mau mencari kost-kostan untuk kami anak-anaknya selama kami mengikuti tes hari itu. Itulah perkenalan keluarga gue dan cewek jutek yang duduk depan gue :P
Cewek jutek itu mulai senyum dengan pipinya yang merah kayaknya sich karena kepedesan makan lontong kari hihihi…
“Kenalan atuh…Teteh… tuch ada temennya nanti kuliah” ujar mamah,
“Risna…” kata gue sambil senyum juga,
“Lia…” jawab si cewek jutek.
***
Selesai juga tes hari itu, dan gue langsung duduk di sebuah kursi yang berderet di depan ruangan khusus tes wawancara. “Gimana tesnya?” tiba-tiba gue dikagetkan oleh seorang cowok tinggi pelontos yang duduk disamping gue, “Ugi…? Mmm… ko tiba-tiba udah disini lagi sich…” jawab gue sambil menggandeng lengannya, “Gimana sayang udah belum tesnya?” tanyanya lagi, “Iya udah… nanti yach aq nunggu Lia dulu, temen baru aku. Dia masih di dalem, kita mau nyari kostan bareng” jelas gue. Dan tak lama Lia-pun keluar, kami meninggalkan kampus dan mengikuti mamah dan ibu-nya Lia yang katanya udah nemu kostan yang cocok buat kita.
“Mamah tadi udah muter-muter… banyak sich kostan di daerah sini tapi macem-macem, ada tadi yang komplit dah ada kamar mandinya di dalem tapi serem teh…” jelas mamah, “Nah terakhir tadi ada kostan di gang depan itu… yuk coba kita lihat dulu” tambahnya lagi sambil menunjukkan gang kecil tak jauh dari kampus.
Kami memasuki rumah bertingkat, dari luar terlihat kecil tapi setelah kami masuk… rumah itu lumayan nyaman dan gue yang pertama masuk aja udah langsung cocok gak mau nyari kostan laen lagi. Lia juga ternyata punya selera yang sama, dan kami akhirnya memutuskan tuk bareng ngekost di rumah itu. Itulah hari pertama gue mulai deket sama cewek jutek di tempat lontong kari depan kampus 
***

Bandung kota Kembang… Kampus kota Kumbang…

Sukabumi… Cianjur… Tol Padalarang… masuk tol Buah Batu.
“Ini toh Bandung…” Cuma itu kalimat yang nongol di kepala gue pas gue nyampe Jalan Buah Batu Bandung.
Gue turun dari mobil dan melihat ke sekeliling, ada beberapa toko kue berjejer dengan beberapa distro dan restaurant disana. Ramai orang-orang berlalu-lalang, mereka yang mau pada belanja, yang mau kuliah, yang mau kerja dan yang Cuma jalan-jalan aja… atau mungkin diantara mereka juga ada yang kayak gue, lagi pusing nyari kuliahan yang cocok di Bandung setelah gagal masuk Negeri.
“Neng… rujak neng…” seorang bapak tua menawarkan rujak dalam gerobak kecil yang lagi nangkring depan toko kue ‘Kartika’ yang katanya sich kue itu kue khas Bandung jadi orang luar yang datang ke Bandung pasti mampir dulu beli oleh-oleh disini. MMmmm… sebenarnya sich nggak disini aja, banyak banget ‘Kartika’ di Bandung. Cuma kebetulan aja tujuan pertama perjalanan gue ini ke Sekolah Tinggi Seni yang katanya ada di Jalan Buah Batu, so gue beli oleh-olehnya di sekitar situ dech.
“Lama banget mamah beli kuenya….” Ujar gue yang lagi kipas-kipas kepanasan sambil ngedeketin tukang rujak, eeeiiiiitz… jangan GeEr dulu yua mang… ^^
“Berapa rujaknya mang?” Tanya gue sambil milih-milih rujak yang udah di plastikin diatas gerobak,
“Lima rebu neng…” jawab si emang rujak,
“Hah…? Mehel eh… mahal sich mang?” gue kaget, biasanya kalo depan sekolah gue rujak yang dah di plastikin gitu harganya dua rebu paling mahal. Tapi tengsin juga kalo gak jadi beli, “Ni dech mang satu aja…” pinta gue sambil ngasihin selembar lima ribu dengan berat hati. Hmm… ini bedanya kalo di kota, rujak aja mahal… hahaha………
“Sayaaang… tolong bantuin nich simpen di mobil…” pinta mamah ketika keluar dari toko kue sambil membawa dua kresek putih gede. Gue langsung ambil tu kresek dan kita langsung naik mobil keluar parkiran dan menuju kampus.
Sampailah pada sebuah bangunan tua…… bener-bener bangunan tua lho, tepatnya sich setengah bangunan tua dan setengah lagi sepertinya bangunan baru. Gue celingak-celinguk aja menatapi seluruh bangunan depan kampus itu. Paman mulai memarkirkan mobil di depan sebuah kantor, dimana dekat pintu kantor itu ada tulisan ‘Pendaftaran Mahasiswa Baru’.
Berat banget kaki gue turun di tempat itu, udah banyak hal yang nempel di otak gue pas pertama kali lihat bangunan tua itu. Jangan-jangan… kampus ini banyak hantunya… serem banget…
“Risna ayo……… bawa persyaratannya kita sekalian daftar” mamah menarik lengan gue sambil nunjuk-nunjuk map biru.
“Mamah aja dech yang daftar…” ujar gue sambil ketakutan,
“Eeh… eta budak kumaha ceunah mau jadi orang Bandung tong isinan kitu ah bilih ngisinkeun…” kata Paman gue yang doyan banget ngasih wejangan.
“Iya iya…” gue kepaksa turun dan masuk sambil bawa-bawa map yang isinya harta gue… modal masa depan gue hehehe… Dan akhirnya saat itu gue daftar di Sekolah Seni jurusan Teater.
“Gimana mau langsung pulang atau masih penasaran dengan kampus yang lainnya?” Tanya Paman,
“Nggak coba daftar di Sekolah Bahasa Na?” Tanya Om Rian, temennya mamah yang jadi guide kita ke Bandung.
“Ya udah kita coba kesana aja mumpung masih di Bandung…” ujar mamah.
Gue Cuma ngangguk doank ngikutin aja, dan akhirnya kita langsung keluar dari bangunan itu dan menuju arah Cihampelas. Katanya sich Cihampelas ini dah masuk daerah kota, terkenal dengan kota jeans dan ternyata sesampainya kita disana memang banyak sekali yang jual jeans di sepanjang jalan. Apalagi ada mall gede, wah gue jadi tambah semanget pengen tau kayak gimana kampus yang diceritain Om Rian.
Sampailah kita pada sebuah bangunan yang jauh beda dengan kampus di buah batu tadi. Sekolah Tinggi Bahasa yang terletak di pinggir jalan ini langsung ngebuat gue jatuh hati. Walaupun sebenarnya… gue udah cinta mati sama sebuah kampus di Jakarta, Sekolah Seni yang udah gue idam-idamkan. Tapi apa mau dikata… gue udah gak mungkin kuliah disana, so… gue pikir inilah pilihan terakhir gue.
Kenapa harus Bandung? Itu juga sich yang gue tanyain sama mamah… kenapa kayaknya mamah lebih ngedukung gue kuliah di daerah Bandung daripada di kota lain? Karena Bandung itu kota kembang… Hehehe… gue nggak ngerti sama jawaban mamah itu, kasarnya yang gue tau mungkin kota ini belum begitu parah-parah banget pergaulannya jadi mamah gak khawatir ninggalin gue hidup sendiri di Bandung nantinya. Dan sebagai cewek cantik (Jjjjiaaaaaaaaaaaaaaah…. PeDe gue :P ), gue mulai membiasakan berkerudung untuk membatasi pandangan-pandangan tajam para kumbang. Karena baru sekali gue turun depan kampus aja… banyak kumbang aneh berkeliaran disana hwehehehe…
***

is that ghost?

Pernah ngalamin kisah yang menyeramkan gak sich? Atau loe mungkin pernah denger cerita-cerita aneh di sekolah? di kampus? Di tempat kost? Well, gue juga sering banget dan salah satu pendengar terbaik yang tertarik dengan cerita-cerita aneh yang menyeramkan dan sampai akhirnya gak mau tidur sendiri karena parno hehehe… seneng banget kalo ngebahas cerita serem bareng temen-temen, apalagi kalo nonton di bioskop wah seru tuch… atau juga denger cerita hantu di radio… tapi gimana rasanya kalo cerita itu bukan Cuma sekedar cerita? Tapi benar-benar kita alami? Benar-benar nyata? Nah ini… cerita gue pas lagi ngekost di Bandung.
***
Satu bulan dua bulan tiga bulan… ya hampir setengah tahun gue ngekos di salah satu rumah di daerah Cihampelas. Awalnya sich nggak ada yang aneh… tinggal di kost-kostan kayak dirumah sendiri, orang yang punya rumah baik banget, anak-anak yang ngekost disana juga dah gue anggep kayak keluarga. Kostan juga aman-aman aja kecuali maling sandal Lyla yang nggak ketauan ampe sekarang hwehehe…
Kejadian-kejadian aneh muncul seiring dengan hobi anak-anak kostan yang sama anehnya hahaha… apaan yua? :-?
Semua temen deket gue yang ngekost disana itu rata-rata anak rumahan, bukan anak mudo yang hobi keluar malam nangkring di café-café atau diskotik. Tapi kita juga tetep butuh hiburan, misalnya nyanyi-nyanyi bareng tiap sore di balkon, jogged gak keruan malem-malem sambil nyetel lagu hip hop kenceng banget (ampe pernah ditegur ibu kostnya lho, tapi kita cuek aja Xixixixi…), selain itu kita juga seneng ngumpul di satu kamar tiap malem jum’at Cuma pengen dengerin cerita-cerita hantu tengah malam di siaran radio Bandung.
Nah, mungkin gara-gara hobi kita yang terakhir… semuanya terjadi…
“Let’s play the music….!!! Dance togetheeeeeeeeeer……..”
Gue, Lia, Lyla, Alin, dan Chici langsung joged-joged gak jelas di kamarnya Chici di lantai atas paling pojok. Itulah basecamp kita tiap malem jum’at. Cuma Dewi, Ika, dan Emi yang jarang gabung. Dewi doyan ngamar sendiri, tapi kadang-kadang dia gabung Cuma ngobrol-ngobrol bentar pas radio mulai muter cerita hantu baru dia ambil langkah seribu balik ke kamarnya di pojok bawah hihihi… nah kalau Ika sama Emi, mereka punya kesibukan sendiri jadi nggak tiap hari ngumpul-ngumpul bareng kita.
“Na… tidur di kamar Lia yuk?” ajak Lia yang kamarnya di sebelah kamar Chici,
“Tumben… ada apaan Ya?” Tanya gue,
“Ah nggak apa-apa… dulu kan kita ngekost sekamar berdua, kangen aja pengen cerita-cerita kayak dulu… hehehe…” jelasnya sambil menyeringai aneh,
“Umm… ya udah dech, gue ambil bantal dulu yach…” gue langsung menuju kamar gue deket pintu keluar menuju balkon dan kamar gue itu posisinya tepat di depan kamar gede yang masih kosong. Gue nggak pernah bisa tidur pake selimut, jadi kalo nginep di kamar laen pasti gue bawa alat tempur alias selimut sama bantal ceper heuheuheu….. gue gembok tu kamar dan langsung masuk kamar Lia.
“Na… sebenernya gue bingung, loe ngerasa ada yang aneh nggak sich dikostan akhir-akhir nich…?” Tanya Lia yang udah tiduran di kasurnya,
Gue mikir sambil berbaring di sampingnya, “Ummm… aneh apanya Ya?”
“Ya kostan ini… pernah denger sesuatu yang aneh nggak?” tanyanya,
“Nggak tuch… ada juga kucing yang suka kotrak kotrek di balkon, tapi itu sich biasa udah nggak aneh…hehe…” jawab gue sambil mainin rambut gue yang lepek baru nyadar udah dua hari belum keramas iiiiich…..
“Kemaren gue nggak bisa tidur Na…”,
“Kenapa lu? Mikirin kucing yang berisik tengah malem apa mikirin gue? Heuheu…”,
“Iyeee… bukan! Tau kan di kostan ini yang pulangnya paling akhir itu pasti kak Ria adenya yang punya kostan…” Lia mulai serius bercerita,
“Iya… dia pulang-nya malem mulu. Emang kenapa?” Tanya gue penasaran,
“Pas malem kemaren itu gue laper jam 10 ke bawah masak mie, ada mas Somadi di dapur yang lagi beres-beres. Dia bilang abis beresin kamar depan, nanti mau diisi kak Lusi kalau pulang dari rumah sakit. Terus dia nyuruh gue matiin lampu bawah kalau udah masak, dia mau tidur waktu itu. Abis gue masak, gue langsung keatas makan di kamar. Udah beres makan, gue nyalain radio sambil tiduran. Gue denger kayak ada yang buka pintu di ruang bawah terus suara langkah kaki naik keatas, itu pasti kak Ria. Dia masuk kamarnya yang di luar deket balkon terus ke bawah ke kamar mandi, gue denger suara air gitu berisik di kamar mandi bawah. Terus kak Ria ke atas lagi masuk kamarnya. Setelah itu gue nggak bisa tidur, ampe jam 2 kali yach… tiba-tiba gue denger suara air kayak ada yang mandi di kamar mandi bawah Na…” jelas Lia,
“Masa kak Ria mandi lagi yach…atau mungkin anak kostan ada yang mandi tengah malem?” tanya gue sambil mikir-mikir agak aneh,
“Gue udah Tanya semua anak kostan tadi pagi, mereka udah di alam mimpi jam segitu Na…” jelasnya lagi,
“Terus siapa donk…?” Tanya gue rada takut,
“Makanya gue juga bingung sendiri…”
***
Kayu itu menjadi pijakan sebagai alas yang seharusnya berkeramik,
Dengan lapisan permadani merah yang terhampar bak lumuran darah yang membeku,
Dingin menyeruak membelai seluruh tubuh dan menembus setiap rongga.
Perempuan-perempuan bercanda ditengah-tengah ruang pengap,
Asyik dengan musik hip hop di salah satu siaran radio,
Semakin larut semakin riang… 11:30 dan musik berganti,
Lantunan musik klasik dengan suara tawa aneh mulai terdengar,
Kisah-kisah aneh diputar, merinding memancing semua ketakutan
Dibawah sadar… sesuatu mengibas… sekilas dalam hitungan detik
Melewati sambil memandangi mereka… kami… aku,
Ia ada….. tak ada…. Tak satu-pun tau
Lewat tengah malam…

“Drrrt…..ddrrrrrtt…” gue kebangun sama getaran hp di sebelah bantal,
“Haduh… ni jangan-jangan Lia minta gue tidur di kamarnya lagi. Jangan bikin takut gue doooonk…….” Gue buka sms yang masuk ke hp gue,
‘Na… udah tidur belum?’ ternyata sms dari Dewi,
‘tadi udah tp kebangun nie ma bunyi hp Hehe… kenapa wie…?’ gue ngebales sms Dewi sambil tidur lagi.
***
Esoknya, hari sabtu kebetulan gak ada jadwal kuliah. Kayak biasa tiap pagi gue nyari makan keluar bareng Lia dan Dewi. Biasanya sich rame-rame tapi sebagian anak kost hari itu pada pulang kampuang hwehehe…
“Wie… semalem kenapa sms nanya gue udah tidur apa belom?” Tanya gue,
“Oh… mm… nanti dech saya cerita sambil makan” jawabnya bikin penasaran,
Setelah beli makan di warung ibu bongkok langganan Dewi, kita langsung balik lagi ke kostan. Makan bareng di kamarnya Dewi, dilantai bawah kamar pojok yang nggak berjendela. Udara Cuma bisa keluar masuk lewat fentilasi aja, tapi kamarnya cukup nyaman dengan lantainya yang berkeramik nggak panas kayak di lantai atas yang Cuma beralas kayu dan ditutupi permadani tebal.
“Tadi malem itu… sebenernya saya takut, tapi karena ngantuk banget jadi males bangun makanya saya sms…” Dewi mulai membuka pembicaraan sambil dia ngebuka bungkusan nasinya,
“Takut…? Kenapa wie…” Tanya gue yang udah dari tadi mulai menyantap nasi, ayam goreng dan tempe bacem,
“Tadi malem itu saya tidur kayak biasa, lampu dimatiin kan…” Dewi mulai bercerita,
“Terus…?” Tanya Lia sambil ngunyah makanannya, kayaknya dia juga penasaran sama kayak gue,
“Saya udah tidur kan soalnya kemaren itu pulang sore capek banget. Tapi tiba-tiba pengap terus kebangun kayak ada bayangan putih lewat gitu. Saya kaget banget, langsung aja saya nyalain lampu tapi bayangan itu udah nggak ada” jelas Dewi,
“Kayak gimana bayangannya wi?” Tanya gue,
“Ya gitu aja gede putih Cuma selewat gitu…” jelasnya lagi.
Gue langsung saling lirik ma Lia, “Jangan-jangan…” kita mikirin hal yang sama waktu itu, inget sama ceritanya Lia malam sebelumnya.
***
Beberapa hari kemudian, gue lagi ngelamun sendiri di kamar. Ngerasa bosen sama suasana kuliah akhir-akhir ini… dan timbul pemikiran gila di otak gue, pindah jurusan. Tanpa pikir panjang gue langsung cabut ke kamarnya Alin ngambil jurusan Bandung-NTB hahaha… emang ada yua… :-? Maksud hati ngin mengajukan banyak pertanyaan tentang jurusan sastra inggris yang diambil Alin, namun terpaksa gue mengurungkan niat itu… soalnya Alin nggak sendiri di kamarnya. Ada Lia disana… dan mereka lagi asyik cerita-cerita. Gue langsung duduk aja ngambil posisi sebagai pendengar hihihi….
“Na… tuch si Alin juga ngalamin kejadian aneh semalem…” kata Lia,
“Kejadian aneh apa lagi…?” Tanya gue,
“Hehehe… sebenarnya sich gue juga bingung, semalem itu mimpi apa bukan tapi bener-bener kerasa jelas banget nich ampe sekarang” ujar Alin sambil megangin pundaknya yang sebelah kanan.
“Ada apa emang semalem Lin?” Tanya gue sambil ngeliatin pundaknya,
“Kemaren tuch Nina nggak pulang, dia nginep dirumah temennya jadi gue tidur sendiri di kamar. Pas tengah malem gue bangun, tiba-tiba kerasa sesek banget. Mau bangun susah kayak ada yang megangin pundak gue, ketahan gitu berat. Baca ayat kursi malah nggak karuan. Ada kali setengah jam-an gue kayak gitu, susah gerak. Gue coba merem terus, tau-tau udah subuh. Gue bengong sendiri aja, mikir itu mimpi apa beneran. Padahal sehari sebelumnya, gue mimpi ada cewek pake gaun putih gitu nongol di pintu…” jelas Alin masih ngusapin pundaknya,
“Masih kerasa sakit…?” Tanya gue sambil nunjuk pundaknya Alin,
“Iya… pegel…” jawabnya.
“Kemaren-kemaren gue, terus Dewi… sekarang Alin…serem banget yach…” ujar Lia,
“Ah… beneran nich gue jadi takut. Nanti malem barengan ah tidurnya…” pinta gue serem sendiri,
“Hahaha… iya…iya…” sahut Lia. “Eh kita barengan aja ajakin si Lyla, sore ini kan dia pulang dari Cianjur” tambahnya,
“Boleh tuch…mau gabung juga Lin?” ajak gue sambil ngelirik Alin,
“Nggak, sore ini gue mau ke rumah tante sama Chici. Gak tau nich nginep apa nggak…” jawab Alin.
***
Malam itu kostan rada sepi. Dewi kayak biasa ngamar sendiri di bawah. Kamar Emi kosong, dia lagi asyik nonton bareng Ika dikamarnya Ika deket kamar Dewi. Kamar Alin juga kosong, dia belum pulang… Nina juga kerja lembur pasti nginep di rumah temennya. Jadi dilantai atas Cuma ada gue, Lyla dan Lia. Lia lagi ngeberesin kamarnya, masang seprei yang baru dia cuci tadi siang. Gue duduk di ruang tengah bareng Lyla. Lyla ngebelakangin kamarnya menghadap meja TV samping kamar gue, sedangkan gue duduk disamping Lyla sambil ngadep kamar Lia posisinya ngebelakangin tangga yang ada disamping kamar gue sendiri.
Pas lagi asyik kita ketawa ngomongin anak kelas yang dulu pernah deketin gue tapi akhirnya ngedeketin Lyla juga…
“Ya ampun… nggak tau malu juga tu anak yach…” ujar gue,
“Iya ich padahal kan tau gue ini temen deket loe Na…”
“Hahahahaha…….” Gue ngakak aja,
“Aaah……Mmmmh….hkhkhk…..” tiba-tiba Lyla yang tadinya masih ketawa berubah histeris sambil nutupin mukanya pake tangan.
Gue melongo kaget, merhatiin Lyla yang jadi aneh… “Kenapa lu La?”
Kali ini kaki-nya gejed-gejed, tangannya nggak sedikit-pun dia lepas dari mukanya. Dia mulai jerit-jerit. “Nie anak kerasukan kali yach…nangis apa ketawa tuch…” pikir gue yang masih heran dengan sikap Lyla. “La… nyebut La…” gue ngingetin dia biar istighfar, tapi dia tetep teriak-teriak.
“Lia sini…” akhirnya gue manggil Lia sambil megangin Lyla takut emang dia kesambet terus ngamuk-ngamuk,
“Eh… kenapa si Lyla?” Tanya Lia ngedeketin kita,
“Nggak tau gue juga kaget, tiba-tiba dia ngejerit histeris gitu…” jelas gue,
“Mmm… Ana… Lia… ayo masuk kamar…” pinta Lyla masih nutupin mukanya sambil berdiri,
“Ya udah ayo… ke kamar gue aja…” ajak Lia.
Kita langsung masuk kamar Lia, Lyla langsung menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia terlihat gugup dan ketakutan, gue baru nyadar kalau Lyla kayaknya nggak kesurupan... Alhamdulillah… Tapi kenapa mukanya ketakutan gitu…?
“Loe kenapa La…?” Tanya Lia terheran-heran,
“Itu… tadi… iiich…. Hkhkhk…Astagfirullah…” Lyla masih sangat takut,
“Apaan tadi…?” Tanya gue, “Kita kan tadi lagi cerita-cerita, lu langsung berubah histeris gitu…” ujar gue bingung,
“Ttta…tadi gue… gue lihat sesuatu… depan kamar loe Na…” jawab Lyla terbata-bata,
“Depan kamar gue??? Wah… kamar gue kan kebuka… ada apaan disana La?” Tanya gue kaget takut ada maling yang masuk ngambil buku harian gue terus dia sebarin semua rahasia hidup gue gitu aja… tapi kayaknya nggak mungkin yach… lebay banget ada maling gitu hahaha……. :D
“Tadi ada sekilas bayangan putih gitu…” kali ini jawaban Lyla bener-bener ngebuat gue merinding setengah gila,
“What…??? Bayangan putih…?” gue jadi lemes gemeter, inget cerita Lia, inget cerita Dewi, dan sekarang Lyla… jangan-jangan besok gue yang kena!
‘Ddddrrrrrrrrt………..ddddrrrrrrrrrrrrrtt……’ getaran HP disaku celana gue tambah bikin gue kaget,
“Nggak ada apa-apa kan? Nggak enak perasaan nich…”
Sms dari sang hero ternyata… setiap gue dalam situasi yang gak enak pasti dia tau aja, “Nggak knp2 sch… tapi aku lagi panik ma tmen kost gara2 ada yang liat bayangan putih depan kamar aku…” gue ngebales sms dia.
“Siapa Na…?” Tanya Lia,
“Sms dari cowok gue…” jawab gue masih ketakutan, “Gimana donk pintu kamar gue kebuka Ya…” tiba-tiba gue inget kamar gue yang lupa belum di kunci,
“Sms Ika sama Emi…kasih tau mereka…” ujar Lyla,
“Oh iya…” Lia langsung ngambil hp-nya mulai mengetik,
“Jangan dulu di kasih tau nanti mereka nggak akan mau ke atas…” otak gue langsung muter,
“Iya bener-bener… suruh pada kesini dulu aja yach……..” kata Lia,
“Jangan lupa suruh tutupin pintu kamar gue……” tambah gue, kesempatan hehehe…
Sms dari Lia kayaknya udah terkirim, terdengar suara langkah kaki Ika dan Emi yang menaiki tangga lalu mereka menutup pintu kamar gue dan menuju kamar Lia.
“Tok…tok…tok… oy… bukain donk…” teriak Ika,
Lia membuka pintu, dan cepat-cepat menyuruh mereka masuk dan mengunci pintu kembali. “Cepetan… kunci lagi pintunya…” bisik Lia,
“Hey… nyantei donk emang ada apaan sich…?” Tanya Ika,
“Iya nech kalian nyuruh kita pada ke atas, padahal tadi kita lagi nonton film rame banget lho…” ujar Emi dengan manjanya,
“Ini lebih rame…mengerikan…” bisik gue pada Emi,
“Hah…? Emang ada apa? Itu si Lyla kenapa kayak abis nangis gitu…?” Tanya Emi sambil mandangin Lyla,
“Nah itu… makanya kita nyuruh kalian kesini…” ujar Lia,
“Kenapa lu La?” Ika mendekati Lyla,
Lyla menceritakan kejadian tadi pada Ika dan Emi, mereka langsung kaget dan melirik Lia. “Kenapa nggak bilang aja tadi di sms…?” Tanya Ika, “Hehehe… nanti kalau langsung cerita kalian nggak mau pada kesini…” jelas Lia sambil menyeringai, “Dan nggak akan mau nutupin pintu kamar gue… heuheuheuheu…” sekarang giliran gue yang nyengeh.
‘Ddddrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrt…………..dddrrrrt……’ Hp gw getar lagi,
“Sayang… baca istighfar… ayat kursi kalau perlu ngaji bareng temen2’a. km ht2 yach…” gue baca sms dari Ogi, “Iya… mksh a doain ya biar aq g ktm ma tu hantu ” langsung gue bales smsnya.
Lyla kayaknya masih belum tenang, Lia yang ngelihatnya juga ikut khawatir termasuk Emy dan Ika. “Cowok gue bilang kita mesti banyak istighfar, kit abaca ayat kursi bareng-bareng aja yuk? Atau gak ngaji bareng…” ujar gue.
“Iya tuch boleh, kita yasinan aja…” tambah Lia,
Akhirnya mereka setuju dan di kamarnya Lia kita semua baca surat Yaasin bareng. Suasana masih sangat hening, tapi setelah mengaji semuanya terasa ringan. Lega rasanya…
Setelah hari itu bukan Cuma hantu putih atau suara-suara aneh yang mengganggu anak-anak kosan di tempat gue ngekos, tapi gue sendiri yang suka gangguin mereka hwehehehe… kadang pas tengah malem kalau gue ngerasa takut sendiri gue langsung ngacir gedor-gedor kamar laen minta ditemenin tidur hahaha… gimana gak ketakutan sendiri, semua anak kosan disana udah pernah ngalamin hal-hal aneh dan gue sendiri? Cuma bisa denger cerita doank… jangan-jangan nanti gue juga bakal ngerasain… itu yang gue takutin. Tapi untunglah saat itu menghadapi bulan ramadhan, semua anak-anak kosan jadi rajin shalat bareng, ngaji bareng, dan berhenti ngedengerin cerita hantu malem jum’at. Alhamdulillah… si hantu putih atau apalah itu yang aneh nggak pernah lagi ngegangguin anak kosan.
(Jika setan mengganggumu, maka mohonlah perlindungan kepada ALLAH, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui - Qs. Al fushilat : 36)
Nah teman-teman jika suatu saat diantara kalian ada yang mengalami kejadian aneh di tempat kost kayak cerita diatas, maka jangan pernah takut… karena Allah akan selalu ada melindungi hamba-Nya yang selalu dekat dengan-Nya.
(The end)
Bandoeng, 2005
By ‘Ntar

Tuesday, July 5, 2011

Sisi Lain di Relung Hati

Kebun kecil itu masih tetap indah… bunga-bunga cantik masih tertata rapi… secantik gadis yang hampir setiap sore menyiraminya. Namun dia tidak pernah terlihat lagi, tidak pernah mau menemuiku lagi.
***
“Brak…braak…” entah apalagi yang ibu pecahkan dikamarnya.
“Tolong Bu… Bapak ini sedag susah, jangankan untuk beli barang mewah atau perhiasan… untuk biaya anak-anak sekolah saja Bapak kewalahan !”,
“Akh… selalu saja seperti itu ! Nyesel saya kawin sama Bapak…” teriak ibu sambil bergegas keluar rumah. Seperti biasanya ibu pergi sampai larut malam.
Hampir setiap hari… rumah tidak pernah sepi, pasti ada saja yang diperdebatkan. Aku muak… bosan dan mulai tidak betah di rumah. Aku lebih sering keluyuran diluar, hingga suatu hari aku main basket di sekolah lain. Ada pertandingan basket kecil-kecilan saat itu.
Usai bertanding, aku duduk di kursi depan kelas yang sedang diisi anak-anak OSIS. Sepertinya mereka sedang mengadakan rapat disana, entah acara apa yang sedang mereka bicarakan. Aku meneguk sebotol air mineral sambil menyeka keringat… tiba-tiba mata ini menangkap sesosok gadis ayu yang sedang duduk manis di dalam sana.
“Lang… cabut yuk…! Kita mau pada bikin acara di rumah Nadia…” Dani menghalangi pandanganku, “Ah… lu ngalangin aja sich Dan…” aku menarik lengan Dani dan memandangi gadis itu lagi, “Eeeeh…ayo ah…” kali ini Dani yang menarikku keluar dari sekolah itu.
***
Keesokan harinya, aku sengaja melewati sekolah itu berharap bisa memandangi atau mungkin berkenalan dengan gadis yang kemarin aku lihat.
Pelan-pelan aku menggas motorku, sepertinya semua siswa sudah pulang. Sekolah begitu sepi, aku diam sejenak… lalu memutar motorku hendak kembali namun tiba-tiba gadis itu keluar dari gerbang sekolah.
Aku langsung menyalakan motorku dan mulai menghampirinya, “Baru mau pulang?” tanyaku, akh pertanyaan itu keluar begitu saja.
Dia sedikit melirik lantas meneruskan langkahnya dan berhenti di pinggir jalan sambil celingak celinguk.
“Aku anter yach…?” tanyaku lagi, tapi dia diam saja dan ketika angkot biru berhenti dia langsung naik tanpa menghiraukan aku. Aku tetap memandanginya… sampai angkot itu melaju dan menjauh…
Sejak hari itu aku tidak bisa tidur… paras gadis ayu itu terus ada membayangi, masuk dunia mimpi dan khayalku. Akhirnya… aku berusaha mencari tau tentangnya. Siapakah gerangan dirinya… 
***
Siang itu aku datang lagi ke sekolahnya, kebetulan saat itu sekolah masih ramai. “Hei Lang… tumben loe ada disini, kita kan nggak ada tanding basket hari ini…” tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Nadia yang ternyata ada disana.
“Loe sendiri ngapain disini Nad…?” aku malah balik Tanya sambil celingukan mencari-cari gadis itu,
“Iseng aja gue lewat sini…” jawabnya, “Loe nyari siapa Lang?” tanyanya lagi,
“Mmm… Gue… bentar Nad…” aku menangkap sesosok gadis cantik diantara canda tawa teman-temannya,
“Hey……” Nadia mengagetkanku,
“Eh… sorry Nad… gue…”, “Liatain siapa loe Lang?” dia sepertinya tau siapa yang aku pandangi itu,
“Wina…?” Nadia menyebutkan satu nama,
“Siapa Wina…?” tanyaku langsung melirik Nadia,
“Ya itu cewek yang loe liatin daritadi…” jelas Nadia sambil menunjuk gadis itu,
“Namanya Wina???” tanyaku semangat,
“Yo’i… dia Wina anak kelas satu. Dia salah satu anggota OSIS yang juga ikut Paskibra, pelatihnya itu temen gue. Suka loe…? Banyak saingan loe Lang…!” jelas Nadia sambil menepuk pundakku.
“Halah… nggak peduli gue… loe tau nomer telponnya Nad?” Tanya gue penasaran,
“Loe cari tau aja sendiri…” jawabnya cuek,
“Yach… gimana sich loe katanya sohib gue… bantuin donk…” pintaku,
“Mmm… gue sich gak tau, tapi bisa gue usahain syaratnya kalau berhasil loe harus traktir gue?!” ujar Nadia sambil senyum lebar,
“Sip sip… gampanglah bisa diatur”
***
Sore yang cerah, saat itu Wina sedang menyirami bunga di kebunnya. “Kriiiing… Krriiiiiing………” deringan telepon dari ruang tengah terdengar nyaring, “Mbok… tolong angkatin telponnya…!” pinta Wina,
Mbok Minah berlari dari dapur dan langsung mengangkat telepon, “Halo… wa’alaikumsalam… siapa? Sebentar yach…” Wina mendengar suara Mbok Minah yang menerima telepon.
“Non Wina… ada telepon nich…” Mbok Minah menghampiri Wina,
“Dari siapa mbok?” Tanya Wina sambil mematikan kran air, Mbok Minah hanya menggeleng tidak tau.
“Halo…”
“Hai, Wina yach…? Apa kabar…?” sapaku,
“Ya, siapa nich?” Tanya Wina,
“Kenalin aku Elang… sebelumnya kita pernah ketemu tapi kamu nggak kenal aku. Nggak apa-apa kan aku telepon kamu?” tanyaku,
“Yaaa… gak apa-apa, tapi maksudya mau apa?” tanyanya terdengar bingung,
“Aku Cuma pengen temenan aja, boleh kan?” tanyaku menegaskan,
“Ya… kalau sekedar temenan sich gak apa-apa…” jawabnya.
Sejak saat itu, aku mulai dekat dengan Wina.
***
Malam itu begitu pekat, putaran jarum jam di ruang tamu membuatku terjaga.
“Darimana saja ibu ini…?” terdengar suara Bapak yang baru keluar dari kamarnya,
“Arisan…” jawab ibu sambil ngeloyor masuk kamar dan mengganti pakaian,
“Arisan…? Sampai selarut ini…?” suara Bapak sedikit meninggi, “Itu apa yang kamu bawa bu?” Tanya Bapak lagi, sedikit curiga melihat bungkusan yang dibawa Ibu.
Hmmm… mereka ribut lagi, sekarang Bapak menjadi sama kerasnya. Mungkin sudah lelah terus menerus bersabar melihat tingkah ibu yang sudah keterlaluan.
“Sudah… tolong Bu…Pak… jangan berantem lagi, apa kata tetangga nanti kalau terdengar !” Kak Sari mulai menengahi.
“Dari kemarin saja Ibu sudah malu sama tetangga ! Ibu sering di ejek oleh ibu-ibu di komplek lain, karena tidak seperti mereka. Ketinggalan jaman, diajak shopping nggak pernah bisa, coba lihat perhiasan apa yang ibu punya? Bapak mu ini tidak sedikit-pun peduli… payah !” jawab ibu ketus sambil masuk kamar mandi.
Bapak hanya bisa diam, tenggelam dalam kepedihannya. “ Sudah Pak… sabar ! berdoa saja, mudah-mudahan ibu bisa berubah…” Kak Sari mencoba menenangkan Bapak.
***
Keesokan paginya, seperti biasa kami berkumpul diruang makan untuk sarapan. Ibu dan Bapak terdiam membisu, raut muka ibu begitu masam.
“Kriiiing……kriiiiiiiiing…” deringan telepon memecahkan keheningan, aku langsung berdiri dan mengangkatnya, “Halo… assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…” terdengar nada lembut seorang gadis disana,
“Wina…? Tumben kamu yang telepon. Ada apa?”
“Mmm… aku mau minta bantuan kamu, bisa kan?” pinta Wina,
“Kalau aku bisa pasti aku bantuin… apa Win?” tanyaku,
“Aku lagi nyari buku… siang ini kamu bisa temenin aku ke perpustakaan umum?” Tanya Wina,
“Oh… itu sich gampang, bisa bisa… jam berapa? Nanti aku jemput kerumah kamu”,
“Jangan jangan… kamu jemput aku di gang deket komplek rumah aku aja yach Lang…” pintanya lagi,
“Oke dech… I’ll be there”
***
“Mboook…… Mbok Minah… mana Wina ? kok jam segini belum pulang…?” Tanya Mamah Wina,
“Anu Nya… Non Wina bilang mau ke perpustakaan katanya mau ngerjain tugas, tadi Nyonya masih tidur. Non Wina nggak berani bangunin ” jelas Mbok Minah,
“Mah… papah keluar dulu yach…” Papah Wina sudah rapi bergegas pergi,
“Wangi banget… mau kemana? Ini kan hari minggu pah…” ujar mamah,
“Iya papah ada janji sama nasabah, mau nawarin bisnis kecil-kecilan…” jelas papah sambil mencium kening mamah dan pergi begitu saja.
Mamah hanya diam lalu kembali ke kamar melanjutkan kerjaannya yang di bawa ke rumah. Sampai akhirnya sore tiba…
“Makasih yach dah mau nganterin aku…” ujar Wina sambil melepas helm dan turun dari motorku,
“Sama-sama… tiap hari aja kamu minta ditemenin, aku pasti siap kok hehehe…” aku mulai menggodanya,
“Ah kamu… kenapa sich kamu mau nganterin aku tiap hari?” tanyanya sambil senyum-senyum,
“Karena aku suka sama kamu Win… kamu…”
Tiba-tiba seorang lelaki berdiri di dekat gerbang rumah Wina, “Mm… Lang… sorry yach aku nggak ajak kamu masuk rumah. Papah sama Mamah aku galak, aku nggak berani bawa temen cowok ke rumah…” jelas Wina sambil ketakutan,
“Itu papah kamu ?” tanyaku sambil melihat kearah lelaki yang sedang berdiri memperhatikan kami,
“Iiya… itu Papah aku… kamu mending cepet pulang Lang. Aku masuk dulu yach…” ujar Wina, aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku-pun menyalakan motor dan pergi meninggalkannya.
“Siapa dia…?” Tanya Papah,
“Itu temen Wina Pah…” jawab Wina kaku,
“Ayo masuk… papah juga baru pulang. Kenapa gak diajak masuk dulu tadi temannya…” Tanya Papah,
“Mmm… apa Papah nggak marah aku bawa temen cowok ke rumah?” Tanya Wina hati-hati,
“Kalau anak itu sich nggak apa-apa… keliatannya dia baik…” kata Papah.
***
Aku menikmati malam dengan membayangkan paras Wina yang ayu… aku benar-benar merindukannya. “Gimana kalau dia marah tadi gue bilang kalau gue suka ma dia…” tiba-tiba aku mengingat kejadian tadi sore…
“Hei Lang… ngapain kamu ngelamun sendiri di luar…? Udah malem, sana tidur…!” teriak kak Sari dari balik kamarnya yang secara tidak sengaja dia melihatku ketika menutup jendela kamar kecilnya.
Aku masuk melewati ruang tengah, Bapak masih menonton TV sambil meneguk kopi. “Belum tidur Pak?” tanyaku,
“Bapak masih menunggu Ibu… dia belum pulang, Hp-nya juga susah dihubungi…” jelas Bapak.
***
Di rumah Wina malam itu ada pertengkaran hebat. Tidak biasanya Mama Wina memarahi Papah sambil menangis tersedu-sedu. Wina tidak berani mendekatinya, dia hanya diam di kamar sambil bertanya-tanya sendiri.
“Kriiiing……Kriiiiiing…” tiba-tiba telepon rumah berdering, Wina langsung mengangkatnya tapi ternyata Mamah sudah terlebih dahulu menerima telepon yang diparalel ke kamarnya.
“Ya… halo…” ada suara lelaki terdengar dari sana.
***
“Nananana…nanana…” aku mengikat tali sepatu sambil nyanyi-nyanyi,
“Deuh… ceria banget… wangi pula… mau kemana nich?” Tanya Kak Sari,
“Biasa Kak… mengantar gadis pujaan… hehehe…” jawabku sambil senyum-senyum,
“Akh… kamu! Jangan lupa tahun depan kamu kan mau kuliah di Bogor. Jangan main perempuan terus…!” dia mulai menasehati.
“Tenang kak… aku nggak bakalan lupa…” jawabku sambil meninggalkan rumah.
***
Sedangkan di rumah Wina, Mamah Wina masih terlihat sedih. Matanya sembab… “Mah… mamah tidak mengajar hari ini…?” Tanya Wina sambil duduk di dekat mamah. “Mamah nggak enak badan nak…” jawab mamah dengan suara yang berat, “Mau ke dokter…?” Tanya Wina lagi, “Nggak usah, mamah Cuma butuh istirahat aja… nggak kenapa-napa…” jelas mamah.
Tak lama kemudian aku sudah berada di depan rumah Wina, dan Wina yang mendengar suara motorku langsung keluar sambil tersenyum manis.
“Yuk…” aku sudah siap mengantarnya,
Sesampainya di sekolah Wina, “Maafin aku yach… kemaren kamu dimarahin papamu nggak Na?” tanyaku,
“Nggak kok… papah nggak marah. Sorry yach Lang aku harus masuk udah telat kayaknya” sahut Wina sambil berlari memasuki gerbang yang hampir saja dikunci satpam.
“Win… tunggu… Masalah kemaren ? Gimana ?” aku lupa menanyakan sesuatu,
“Aku harus memikirkannya dulu…!” teriak Wina.
***
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam… sudah pulang…” sapa mamah yang sedang mengobrol dengan seorang tamu,
Wina bersalaman dengan lelaki yang sedikit lebih tua dari papahnya. Lalu Wina masuk ke kamarnya sambil melamun. “Ko wajahnya nggak asing gitu yach… siapa bapak itu…?” Wina bertanya-tanya sambil mengingat sesuatu.
“Drrrt… Ddddrrrrrrrrrrt……” Hp Wina berbunyi,
“Ko udah pulang duluan…? Aku tadi jemput kesekolah kamu Na…” smsku sampai d Hp-nya Wina, tapi Wina tidak membalasnya.
“Astagfirullah… jangan-jangan…” Wajah Wina kaget sendiri sambil memutar-mutar otaknya… bertanya-tanya… dan menyadari sesuatu.
“Wina… sayang… sini dulu sebentar…!” teriak mama dari ruang tamu,
Wina menghampiri mamahnya yang baru masuk setelah mengantarkan lelaki itu keluar rumah, “Ada apa mah…?” Tanya Wina sambil duduk di ruang tamu,
“Akhir-akhir ini kamu sering jalan sama anak laki-laki…?” Tanya mamah,
“Maksud mamah… Elang…?”
“Kalau mamah boleh minta, tolong jangan dekat lagi dengan anak itu…” pinta mamah,
“Kenapa… itu yang tadi siapa mah…?” Tanya Wina, “Jangan-jangan yang tadi malam nelepon yach…?”,
“Kamu…?”,
“Maafin Wina mah, semalam Wina denger percakapan mamah sama laki-laki itu. Dia suami perempuan yang godain papah selama ini yach?” tannya Wina hati-hati,
Mamah Wina mulai menitikkan airmata,
“Tapi mukanya… mirip Elang… dan mamah juga melarang aku deket sama Elang. Jangan-jangan… dia papahnya Elang ?” Tanya Wina penasaran sambil menebak-nebak,
Mamah Wina hanya mengangguk sambil menangis, dan mamah memeluk Wina seolah ingin menyampaikan betapa sakitnya perih hati mamah dan betapa betapa pilunya dikhianati.
“Jadi Elang anaknya perempuan yang selama ini merusak keluarga kita…?” Wina terlihat lemas, kepedihan benar-benar menyakiti hatinya sebelum bahagia tergapai… sebelum segalanya tersampaikan.
***
“Wina…! Tunggu…! Kamu ini kenapa…?” aku terus mengejar Wina, aku belum mengerti kenapa dia tiba-tiba menjauh dan sikapnya benar-benar berubah.
“Elang… aku udah tau semuanya…!” sahut Wina sambil terus melangkah cepat,
“Tau apa… emang ada apaan…?” tanyaku makin bingung,
Paras ayunya mulai memerah dan butiran-butiran airmatanya mulai membasahi pipinya yang cabi, “Kamu selama ini sekongkol kan sama mama kamu untuk menguasai harta papah aku ? atau jangan-jangan kamu sengaja ngebiarin papah kamu berusaha untuk ngejebak papah aku biar deket sama mamah kamu terus kalian minta ganti rugi gitu ???” semua kata-kata Wina membuat aku tertegun, kaget dan tidak mengerti.
“Maksudnya apa…?” tanyaku,
“Halah udahlah… Puas kamu melihat keluargaku hancur…? aku benci sama kamu Lang… aku nggak mau lagi ketemu kamu !” Wina menatap mataku tajam, ada amarah yang terpancar dimatanya yang bening, lantas dia pergi meninggalkan aku.
Itulah hari terakhir aku bertemu dengan gadis berparas ayu yang pernah mengisi hatiku… yang pernah menghiasi hariku… yang pernah ada disaat sepi melanda hidupku. Sekarang aku tidak bias apa-apa, keluargaku dan keluarganya sudah membuat sebuah perjanjian. Karena ayah Wina tidak mau meninggalkan keluarganya dan ibu-pun begitu, maka mereka-pun tak lagi berhubungan. Begitu juga dengan diriku… aku tak lagi berani mengganggu Wina, padahal disini… Disisi lain di relung hatiku… aku sungguh mencintainya dan aku tau bagaimana perasaannya padaku.

(Written by ‘Ntar okt 2004, based on true story that happened in 2001)

Wednesday, February 16, 2011

3. Surat Cinta untuk Egi

Gak kerasa, udah pake seragam putih biru lagi anak perempuan itu…ucapku sambil menunjuk diriku sendiri di depan kaca. “Lihat…Ana dah kayak mama belum mang?” Tanyaku pada paman ketika dia menutup rambutnya yang pendek dengan kerudung putih. “Iya dech… cantik ponakan mamang nie… makanya belajar yang rajin biar pinter biar kayak mamah nanti” ujar paman sambil menunjuk mamahku yang lagi asyik dengan pekerjaannya (membuat absen siswa-siswi baru). Aku memang sangat mengidolakan Mamah, seorang guru yang ulet dan bisa segala hal apapun itu dimataku. Mamah bisa menjahit, mamah bisa main music, mamah bisa mengajar, mamah bisa menyanyi, mamah bisa segala hal… dan Ana ingin sekali seperti mamah.
“Ana… udah siap belum?” seorang lelaki paruh baya memanggilku sambil menyalakan mesin motornya, “Iya paaaaah…. Sebentar!” aku mulai menggendong tas yang baru dibelikan mamah berikut buku dan peralatan sekolah yang lain, aku menyalami Paman dan Mamah, lalu berlari keluar rumah menghampiri lelaki berkulit putih dengan mata sipitnya yang persis kaya orang cina. “Yuk….” Ajakku pada Papah, Papah tidak banyak bicara dia langsung tancap gas setelah anak pertamanya ini naik di belakangnya. Itulah Papahku, Papah yang pendiam namun dia sangat baik, baik sekali.
Papah mengantarkan aku sampai depan gerbang SMPN 2 sekolah yang baru aku masuki beberapa hari ini. Sebenarnya sekolah itu bukan sekolah favorit yang aku inginkan, tapi apa boleh buat… Nem ku ketika lulus SD kecil, aku memang bukan anak yang rajin. Padahal mamah di rumah sudah mengatur jadwal belajar ku tiap hari. Dan mamang, adiknya papah yang galak itu selalu mengawasiku. Bayangin aja, setiap usai shalat isya aku nggak bisa nonton TV. Aku harus duduk di ruang belajar, sampai jam8 malam. Waaah… kalo ketiduran nich, bias-bisa kena bentak mamang. Terus kalo tiap pagi aku gak bangun sendiri, siap-siap aja pintu kamarku digedor-gedor mamang ditarik ke kamar mandi disuruh shalat, sungguh sangat menyebalkan. Tapi mamang memang baik, dia selalu mengajari aku berbagai hal.
“Ana….!” Seorang anak perempuan memanggilku,
“Dianterin Papah?” Tanyanya,
“Iya… kamu sendiri Put?” tanyaku balik setelah celingukan dan menyadari tidak ada anak lain lagi yang turun dari angkot yang ditumpangi Putri itu.
“Iya… kayaknya kita kesiangan dech…” ujarnya sambil melihat kesekeliling yang sudah mulai sepi,
“Hah? Masa… ya udah ayo cepet kita masuk sebelum gerbangnya ditutup Put…” aku langsung menarik lengan Putri sahabatku sejak TK itu, namun kita menuju kea rah yang berlawanan karena kelas kami berbeda. Putri masuk kelas 1-F sedangkan aku 1-B.
“Kok rame sich… udah ada gurunya belum ya…” aku bertanya-tanya, merasa takut dan malu jika seandainya di dalam kelas sudah ada guru dan aku nyatanya kesiangan.
“Eh… Ana… ko telat sich?” Tanya Eri dari balik pintu,
“Lho…belum ada gurunya yach?” aku malah balik nanya sebelum menjawab pertanyaannya Eri teman baruku itu. Dia Cuma menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Teman baruku itu memang manis, kulitnya putih dan dia jago banget nyanyi dangdut.
Aku masuk kelas dan duduk di kursi sambil meletakkan tasku. “Ehm… Na, dapet salam tuch…” tiba-tiba Sari berbisik dari belakang kursi yang aku tempati, “Siapa?” tanyaku sambil meliriknya, “Egi…” bisiknya lagi. Aku terdiam… sebenarnya sambil berpikir mataku mulai mencari-cari sesosok wajah yang bernama Egi dalam kelas itu…
“Woyy….!” Sari mengagetkanku,
“Hadeuh Sari… tadi bisik-bisik naha jadi ngagetin…? Yang mana sich orangnya?” tanyaku sambil celingukan,
“Tuh… yang duduk deket Farhan…” Sari menunjuk seseorang yang sepertinya sedang melirikku, hahaha… GeEr… bukan, dia tidak sedang melirikku tapi sedang mengobrol dengan Farhan. Eeeitz… tunggu tunggu… Farhan itu kalau nggak salah orang yang lagi deketin Putri. Iya bener… Ooh… Aku mulai ngelamun dech, “seandainya aku jadian sama Egi yang diceritain Sari itu, trus Farhan jadi sama Putri sahabatku… aku bakalan ada temen kalau jalan nanti, katanya orang pacaran kan pasti jalan berdua… kan malu, nah kalau Putri jadi sama Farhan… kan lumayan da yang nemenin…hehehe….” Pikiranku memang konyol…
“Gimana…?” Tanya Sari,
Aku memandangi Egi, yaaaa… lumayanlah untuk pertama kali masih enak dipandang, “Salamin balik dech…” jawabku sambil berhenti memandanginya dan mulai mengeluarkan buku.
“Beneran??? Waaaah… beruntung si Egi kalau bias jadian ama Ana nu geulis ieu… hehe…” Sari mulai menggodaku… sebenernya Sari apa Egi yach ni yang naksir aku ko Sari yang ngegoda aku…Lho?
**
Keesokan harinya… Besoknya dan hari berikutnya lagi… terus saja Sari menyampaikan salam dari Egi buat aku. Dan akhirnya aku bosan, dan mulai berpikir… jangan-jangan Sari ini sedang membohongiku, jangan-jangan Egi tidak pernah titip salam… lha sikapnya aja biasa-biasa aja kalau ketemu atau papas an gitu.
Dan akhirnya, aku berinisiatif menanyakan hal ini kepada Farhan.
“Iya Na… Dia emang pernah cerita ama Farhan kalau dia suka sama kamu…” hanya kata-kata itu yang aku dapat dari Farhan.
Esoknya, aku datang pagi sekali… dan yang kulihat pertama kali itu… bukan saudara-saudara, ternyata bukan egi tapi Sari.
“Anaaaaa………” Sari langsung mendekatiku saat aku masuk kelas,
“Na… Ada yang mau aku tanyain nich… amanat nich dari si Egi” ujarnya,
“Apaan Sar?” tanyaku datar,
“Kata dia… mau nggak jadi pacarnya…?”
“Haaahhh???!” kali ini mimic mukaku berubah benar-benar kaget. Pas waktu pertama di tembak Gingin dulu sich tidak sekaget ini… tapi kenapa yang ini… padahal bukan Egi yang nembak aku langsung waktu itu.
“Kenapa dia nggak ngomong langsung?” tanyaku,
“Malu Na…” jawabnya sambil duduk dikursinya, mungkin Sari lelah berdiri dan lelah melihat muka kagetku, makanya dia lemas dan duduk hehehe….
“Ah… jangan-jangan kamu bo’ong Sar…” aku maen tuduh saja,
“Ya ampun Na… ngapain Sari boong. Dia bilang gitu, kalau kamu terima… kamu harus jawab pake surat gitu, tapi kalau nggak mau terima ya udah lupain aja anggap nggak ada apa-apa…” jelas Sari.
Giliran aku yang duduk dan mulai melamun… “Egi itu nggak jelek-jelek banget sich… orangnya juga baek, kasihan kalau aku tolak gitu aja…” pikirku dalam hati.
Dan hari itu adalah hari pertama aku mulai menulis sebuah surat cinta… surat cinta untuk Egi. Aku menanyakan semua kata Sari dari awal sampai akhir, dan aku juga menjawab tembakan cinta lewat Sari, tidak lupa aku merangkai sebuah tandatangan di kertas putih itu…
Naaah…. Jadianlah aku sama Egi, dan setiap hari kami bertulis surat cinta. Padahal kami selalu bertemu, tapi sungguh sangat malu tuk langsung berbicara empat mata…hehehehe… sampai akhirnya, aku merasa bosan… benar-benar bosan dan memutuskan Egi lewat surat pula. Surat cinta untuk Egi, karena dia emang cinta monyet. Jadi surat itu-pun berakhir menjadi surat yang mengecewakan buatnya karena isinya bukan kata-kata manis lagi, melainkan kata putus. P-U-T-U-S.

Apa yang aku inginkan…?

Aku tidak tau, baik atau burukkah kabar yang kudengar itu…
Alhamdulillah… mudah-mudahan mereka bias menjalankan rukun islam yang terakhir dengan baik.
Astagfurullah… cobaan apa lagi yang engkau berikan pada hambamu ini ya Rabb…
Aku sudah berusaha menutupi rasa sakit ini bahkan sedang kuhapus sedikit demi sedikit dengan cinta yang kupunya…
Tidak ada yang terdzolimi… nyatanya aku mendzolimi diriiku sendiri…
Sesak sangat terasa hamper menghentikan nafasku…
Detakan jantung menghebat serasa ingin cepat terhenti…
Otak sudah lelah berputar tuk berfikir…
Rasa… Rasa? Masihkah aq punya rasa, setelah aku tidak menyayangi diriku sendiri…
Aku terpejam, kuingat semua mimpi-mimpi…
Sampai aku takut tuk bermimpi…
Aku termenung, kubayangkan semua harapku…
Sampai aku enggan tuk berharap…
Apakah kau sudah tidak mau mendengar doa-ku?
Apakah kau sudah muak dengan tangisku?
Apakah kau sudah tak lagi menghiraukanku?
Yaaa…..Rabbbi….. aku disini… tolong aku…
Mengapa kau seolah acuh padaku ya Rabb….
Aku tidak butuh waktu, penantianku tak berujung…
Tujuh tahun… enam… setahun… tinggal empat bulan…
Oooh…lalu harus setengah tahun, atau satu tahun atau dua tahun lagi???
Aku tidak minta apa-apa…tidak…
Tapi sungguh tidak ada yang mau bertanya, apa yang aku inginkan?
Tidak ada satu-pun…
Dia… Kamu… bahkan mereka…
Atau bahkan engkau ya Allah… maafkan aku…
Aku tidak mengharapkan sebuah istana megah dengan kilauan emas…
Aku tidak meminta sebuah perayaan mewah dengan kilauan permata…
Sungguh… aku tidak menginginkan itu jika hanya menimbun dosa…
Aku berharap menjadi muslim yang suci…
Aku berharap derajatku terangkat dan terhormat…
Bukan dengan materi…
Tidakkah kalian bertanya… sedikit saja ingin tau…
Apakah yang aku inginkan…?
Sungguh…
Aku hanya ingin satu…
Cinta yang sederhana….

Friday, January 28, 2011

Siapa dirimu?

Kita bertemu dalam balutan putih abu...
Kita berjabat saat hati terpadu...
Laun... Banyak pilu rindu sendu haru menyatu...
Dalam dahaga kau reguk segelas rindumu...
Dalam penantian ku lahap sepiring raguku...
(To be continue...)

Titik rindu diantara kehadirannya

"siapa?" tanya gadis,
Mama hanya menunjuk sambil tersenyum kecil...
Ada sesosok pria yang tak asing berdiri disna, dengan seragam hijau dia terlihat begitu gagah... Namun keletihannya terlihat jelas dari guratan wajah itu...
Gadis mendekatinya seperti biasa menyambut pria itu dengan senyum mnisnya.
"ada titik rindu diantara kehadiranmu sayank..."

(bagian-bagian yang hilang2)

Balutan merah

lusuh...
Kumal...
Lemah...
Tak berdaya anakmu hanya mampu menangis...
"papa... " panggilnyaa getir...
Namun tak ada sahutan... Tak ada kerinduan, tak ada senyuman, dan tak ada lagi gurauan...
"tidakkah kau mengingatku?"
Anakmu hanya mampu berteriak dalam sanubari... Dalam sepi dalam sayatan kepedihannya...
Dan kau hanya diam...diam saja...
"bagaimana jika aq &@/?! dalam balutan amarah? Dlm balutan merah..."

Doa dalam kegelisahan ana

petir itu menyambar lagi... Gerimis... Lalu semakin deras menghujam...
Ana masih berpikir dalam pandangan kosongnya, masih mencari cara tuk menepis resahnya.
"kenapa mereka teramat egois seolah tak mau perduli dan mengerti..." bisiknya dalam hati.
Beningan putih jatuh melewati pipi dan dahinya, ia mulai terisak merasakan kesakitan yang mendalam.
"sungguh aq tidak mengerti apa yang kau rencanakan ya Allah..." ana masih terisak melingkarkan tangannya dikedua siku kaki yang terlipat disamping jendela dalam kamar kosong dan gelap.
"tunjukkan jalanmu ya Allah, sungguh aq tak mau seperti ini terus menerus..." ana sepertinya ingin berteriak dalam kebisuan yang tengah mematikan syaraf-syaraf-nya... "jika ini sesuatu yang benar adanya walaupun pahit, sungguh aq ingin menjaganya bukan menghapusnya... Karena aq menginginkannya walau sebenarnya tak tepat di waktu ini tapi aq tau kau pasti punya rencana lain..."
Ana mengangkat dagunya dan mengusap airmata yang tak henti keluar dari sudut matanya yang merah.
"aq tak akan menyerah..."
Ia berusaha tersenyum diantara kebinaran dan pilu yang semakin merenggut keingnannya selama ini...

Tuk kesekian kali

sekelumit mimpi menjadi bagian asa... segenggam asa menjadi bagian rasa... setitik rasa menjadi bagian yang hilang...
Pelan-pelan memudar, mengenyam, timbul dan kembali normal...
Lantas ragu menggebu, berserakan, menghujam, hilang dan kembali normal...
Titik hitam terhapus, tercoret, lekat, legam dan kembali normal...
Sendirian kuat, makin rapuh, patah, terjatuh, dan kembali normal...
Kembali normal... Tuk kesekian kali, kembali normal...

Goresan masa kecil

5 tahun tlah berlalu...
Kau rengkuh dengan sembilu...
Kau masih polos saat itu...
Tak mengerti tak menentu...

Keluguan itu menggemaskan, namun mereka tak peduli, kejengkelan, kebencian, semua menghancurkan kebahagiaan masa itu... Masa kecilmu...

Mataku tak mampu memandang
Hatiku tak mampu menerka
Kau buat harapan meregang
Dan mata mereka terbuka

Ada berbagai guratan dendam
Gelombang bara dari ketidakadilan...

Tapi kau hanya 'DIAM'
Semua takkan tau!
Bolehkah aq berkata...?
Dengarkan...

Kakak takkan biarkan goresan masa kecilmu terbuka, maka sayangilah kami...
Karena goresan itu tak mampu hilang
Tapi kami mampu mengobatinya.

Wednesday, January 19, 2011

2. Si Bulu Kuda

2. Si Bulu Kuda
            Ana masih kesal dengan surat yang dibacanya tadi, dia melamun dalam kelas… “Udahlah Na…dia tuch emang bego aja, masa malah suka ma yang nulis suratnya. Berarti sama teh Usi donk? Suka ma yang lebih tua? Padahal kan kamu cantik Na. udahlah jangan dipikirin….” Putri mengusap-ngusap bahu Ana, Wiwin yang sudah tahu dari Putri bagaimana kagetnya Ana ketika membaca surat dari Boim itu-pun ikut menemani Ana dan menghiburnya.
            “Hey Na…?” tiba-tiba Reza mendekati Ana, Wiwin dan Putri yang kesal dengan candaannya Reza yang selalu garing itu diam-diam meninggalkan Ana dan reza.
            “Eh…pada kemana…? Kabbur mereka…” ujar Reza,
            Ana masih terdiam dan memikirkan Boim,
            “Na, lagi patah hati ya? Hmhh… kalau mau tau si Boim suka apa nggak ma kamu, kenapa gak panas-panasin aja? Kalau dia cemburu, itu artinya dia suka sama kamu Na!” Reza ceplas-ceplos aja menjelaskan sebuah jurus penakluk cinta yang entah darimana ia tau,
            “Tapi sama siapa… anak-anak cowok di kelas kan pada culun semua termasuk kamu tuch!” ujar Ana,
            “Ada… dan dia masih temen deketnya Boim…”
            Ana mengernyitkan alisnya, “siapa Za?”
            “Gingin….” Jawabnya pelas,
            “Hahh? Ketuaan buat aku dia mah… ich…nggak ah, takut…” Ana geleng-geleng kepala,
            “Ya kan Cuma pura-pura say….!” Jelas Reza.
**
            Ana, anak perempuan yang pendiam ini bertubuh gemuk. Rambutnya panjang terurai bergelombang agak pirang. Kulit-nya yang putih membuat dia tampak cantik dan imut. Namun selalu… tidak bisa ia pungkiri, kelebihan lemak ditubuhnya membuat ia selalu diolok-olok temannya di mana-pun. Apalagi ketika ia minta di potong rambut karena selalu merasa gerah. Mamah memotong rambut Ana sampai pundak. Potongan anak lelaki, itu membuat Ana jadi tampak lebih bulat. Tapi Ana tidak pernah marah pada siapapun yang mengoloh-oloknya.
            Sore itu, seperti biasa Wiwin main ke rumah Ana. Ada saja yang mereka mainkan setiap sore-nya. Kadang bermain congklak, main karet, main boneka, bepe-bepe an, bekel, sondah,dan yang lainnya. Tapi permainan sering mereka mainkan itu congklak, walaupun Ana selalu dikalahkan Wiwin, tapi dia selalu senang kalau ada temannya main ke rumah menemaninya.
            “Ana…Ana….!” Teriak Wiwin dari halaman rumah Ana,
            “Bentaaaaaaaar…!” sahut Ana sambil berlari dari dapur,
            “Masuk Win, Ana baru bantuin mamah masak. Udah beres ko, bentar Ana shalat dulu ya!” Ana membiarkan Wiwin menunggu. Ana bukanlah anak yang rajin shalat atau pintar mengaji. Tapi semenjak pamannya (adik ayahnya) tinggal dirumah, ia selalu di ceramahi. Paman yang cerewet dan selalu mengingatkan Ana shalat, ia juga yang mengajari Ana mengaji. Maka dari itu, Ana lebih takut pada pamannya daripada sang Ayah.
            “Mau main apa Win?” tanya Ana setelah keluar dari kamarnya,
            “Na, ada Gingin di depan sana!” bisik Wiwin sambil menunjuk ke arah pintu gerbang rumah Ana,
            “Hhahhh!?” Ana kaget dan celingukan, “Mo ngapain…?” tanyanya,
            “Pengen ngomong ma kamu tuch katanya, gak tau dech apaan…”
            Ana bingung dan terdiam,
            “Udah temuin dulu aja, yuk…” Wiwin menarik lengan Ana, mereka-pun keluar menemui Gingin yang lagi jongkok depan rumah Ana bersama temannya.
            “Mau ngapain sich?” tanya Ana,
            “Eh…Ana, aku mau ngomong…” ujar Gingin,
            “Disana aja dech ngobrolnya, jangan disini!” pinta Ana sambil berjalan menuju jembatan dekat kavling lingkungan rumahnya itu.
            Wiwin dan temannya Gingin-pun mengikuti dan menemani mereka.
            “Apa…?” tanya Ana langsung tanpa basa-basi,
            “Kamu mau gak jadi pacarnya Gingin?” tembak Gingin,
            Ana tercengang, “Ya ampun, ini pertama kalinya aku di tembak…tapi kenapa malah sama si Gingin ini….haduuuh….gimana nich, aku nggak mau, takut… mukanya serem gitu…” bisik Ana dalam hatinya.
            “Sst…” Wiwin menyenggol lengan Ana, “terima aja…”
            “Kalau dia macem-macem gimana… hmhh… tapi kata Reza, kalau mau tau Boim suka ma aku pa nggak, buat dia cemburu aja… apa ini kesempatan aku buat manas-manasin si edan edun ntu…” Ana masih berbicara dalam hatinya, ia berpikir cukup lama membiarkan Gingin menunggunya.
            “Na…?” Gingin membuat Ana berhenti lama-lama berpikir,
            “Iya dech….” Jawab Ana singkat.
            Mereka bersalaman lalu berpisah begitu saja, mungkin dengan mereka bersalaman itu menandakan mereka sudah resmi pacaran. Tapi sikap Ana tetap tidak baik menghadapi Gingin yang ditakutinya itu.
            Gingin pulang bersama temannya, Ana-pun mulai melangkah kembali ke rumahnya bersama Wiwin. “Win pan heureuy tadi Na, ko jadi diterima beneran?” tanya Wiwin polos, Ana melirik Wiwin “Tenang aja, ini caranya kita nyari tau tu si edan edun the suka nggak ma Ana” jelas Ana sambil berjalan.
            “Na…!” seorang bapak-bapak memanggilnya dari rumah Beben,
            “Siapa tu Na?” tanya Wiwin,
            “Papahnya si Beben….” Jawab Ana, “Iya pak?”
            "Abis ngapain? ketemu ma anak-anak itu yach?" tanya papahnya Beben sambil nunjuk sesosok anak laki-laki yang sudah menjauh dari lingkungan kavling rumah Ana,
            "Dia nunjuk si Gingin ya Na?" bisik Wiwin,
            "Iya sich kayak'a........" Ana berbisik jg,
            "Hati-hati.... kayaknya anak gak bener, tadi aja ngerokok nongkrong di depan" ujar papahnya Beben dengan seriusnya,
            "Oh...iya pak iya...." Ana cuma ngangguk-ngangguk aja, "Ko jadi nyesel ya dah terima dia tadi..." ujar Ana dalam hati.
**
            Esoknya di sekolah, suasana dah mulai berbeda... siswa yang masih duduk di kelas 6 SD itu belum mengerti cinta itu kayak apa, kata jadian cuma pelengkap aja yang bisa dijadikan senjata untuk memerangi sifat dinginnya Boim. 
               "Ana........katanya kamu dah jadian ma Gingin?" tanya Reza,
               "Kata siapa?" Ana balik tanya sambil menyalin catatan pak Wawan di bor,
               "Ya dianya sendiri yang bilang.......si Boim juga dah tau lho!" jelas Reza,
               "Terus??? apa kata dia?" mendengar nama Boim, Ana langsung semangat ingin tau....
               "Nggak apa-apa...dia cuek aja..." jawab Reza, membuat Ana bingung...
               "Suwe...."
               "Suwe ora jamu...?" Reza masih aja godain Ana,
               "Suwe suwetaan.......huuuufht.... udah jadian ma cowok laen eh dia malah cuek. tu artinya dia emang gak suka dong ma Ana...!!!" Ana mulai kesal.
              "Lagian kamu ko mau-maunya sama Gingin, dia tuch udah tua tau! liat tuch kakinya banyak bulunya...ihh...geli tau...!" ujar Wiwin yang daritadi duduk di samping Ana,
                      "Iya yach...kayak apa tuch Win?"
                      "Kaya bulu kuda....! hahahaha....."
                      Ana dan Wiwin terus saja menertawakan Gingin, dan akhirnya Ana memutuskan Gingin karena memang dari awal ini cuma dia lakukan untuk Boim dan ternyata usahanya Gatot, alias gagal total.
 


           

           

Sunday, January 16, 2011

HAMPA

Masih sangat melekat, ketika memandangimu di depan pintu kelas 1C
ketika putih abu melekat di tubuhku..............
Dan masih jelas, suaramu ketika langsung kau inginkan aku
menjadi kekasihmu.............
tak ada alasan menolakmu, tak jua kau berikan waktu tuk aku berfikir,
dan anggukan kecil bersamaan senyum merona terpancar dari wajah ini,
wajah yang masih segar........

setiap jam setiap harinya.......cinta semakin tumbuh...tumbuh...tumbuh...
setiap ba'da subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya bahkan shalat sunat,
kau yang ingatkan........ tidak terlepas pada waktu makan, kau-pun
kau yang ingatkan...............

Berjuta, sejujurnya lebih, bahkan jika air dilautan di pecahkan jadi butiran-pun masih labih dari itu,
begitu..... begitu perasaan cintaku tumbuh untukmu,
sedikit saja berpaling darimu, aku selalu...selalu ingin kembali.
kembali, kepadamu.....................

sudah terlepas dari putih abu, ber almamaterlah aku......
aku bahkan masih ada slalu untukmu........
tidak, aku tidak bisa menerima yang baru, siapapun mereka.....
selalu dihati selalu kamu....................

dan seperti berevolusi, sifatku sifatmu selalu berubah.........
bagaimana-pun itu, selalu aku ada untukmu..............

dimataku, sungguh sempurna dirimu,
kebanggaan hatiku.........

bahkan ketika sesosok pelindungku tak bertanggung jawab,
kau slalu ada untukku.........
membuat aku tau, bahwa tidak semua lelaki itu seperti dia.

hingga aku rasa........aku tidak ingin berlama-lama
aku ingin selalu ada untukmu,
benar-benar mendampingimu,
semua berubah..............

kesibukan kita menjadi jarak...........
kebutuhan kita menjadi tujuan............

kita berpisah,
aku menemukan yang lain
kau-pun bermain-main.......................

3 bulan sepertinya sudah biasa dibanding sebelumnya
selalu berpisah dan bersatu lagi,
seperti sudah biasa...................antara kita

kau kembali aku kembali padamu
sudah biasa..........................
tapi........... aku tetap ingin
sesuatu....................
yang menjadikan kita bersatu selamanya
tak ada lagi penggoda
tak ada lagi............

semua berjalan, namun kau tetap
menggantungkan harapan
semua..........
kau mampu berkata apapun
kau sangat hebat
terlalu hebat
terlalu pintar
akhirnya aku hanya bisa mengangguk
dan percaya pada sang pujaan hati, engkau

aku selalu berharap, disetiap waktuku,
disetiap doa ku, di setiap basuhan airmataku
Allah kan mendengar dan mengabulkannya

dan tidak ada yang tahu..........
Allah ternyata maha adil
Subhanallah................
ia maha penyayang......
ia berikan aku jawaban atas permintaan yang selalu aku lontarkan
di setiap malam-malam yang ku punya,
 ia membukakan mataku,
mata yang selama ini tertutup...............
dan akhirnya aku tau,
selama ini aku buta................
aku BUTA.

dan dalam kebutaan itu, bahkan sampai saat aku sadar saat ini
saat ini, aku berada dalam ruang kosong
ruang yang HAMPA
ada dalam HAMPA

17 januari 2011 01:30

Thursday, January 13, 2011

1- si Edan Edun

1.      Si Edan Edun   
Biru langit tampak cerah dengan segudang senyum anak-anak berseragam putih merah. celoteh-celoteh nakal dan manja menjadi sebuah warna menggantikan indahnya pelangi di sore hari. "Awaaaaaas.....!" seorang anak lelaki bertopi hampir menabrak Ana dengan sepedanya, "Aaarrrggghhhh..... Reza..............! awas kamu....!!!" Ana terjatuh dan kemudian mulai berdiri mengejar Reza, tapi kemudian langkahnya terhenti dan mengingat sesuatu....
   "Iya Na... aku suka banget ma Dira, kamu mau kan bantuin aku? ya Na ya....? aku pengen tau dia suka gak ma aku, sebelum aku pindah ke Bogor" Ana ingat kata-kata Heni tadi pagi di kelas. "Duh... kasihan juga Heni, nggak ada salahnya aku bantuin dia" mata Ana mulai tajam mencari sesosok Dira, salah satu anak yang lincah, tapi akhir-akhir ini menjadi pendiam, "Tapi anak itu aneh... hmh... gimana caranya aku bantuin Heni. Apa aku tanya langsung aja ya sebelum les di mulai..." Ana mulai berpikir dan mencari-cari Dira.
   "Eh...Dira...tunggu...!" begitu melihat Dira yang lagi asyik maen sepeda, Ana langsung memanggil dan menghampirinya. "Aku boleh donk ikut naik sepeda kamu?" tanya Ana, "Mau pinjem sepeda aku?" Dira malah balik tanya, "Aku nggak bisa Dir, bonceng aja yach?" pinta Ana. "Haduh...Dira pasti deh curiga, aku kan gak semanja itu ma temen-temen yang laen, pake minta dibonceng sepeda segala lagi, ngomong apa sich aku nich..." Ana mulai kebingungan sendiri. Untungnya Dira baik dan tidak curiga, "Ya udah dech, ayo...!" ajaknya menunggu Ana naik ke sepedanya. Ana hanya tersenyum masih bingung, tapi apa boleh buat dia-pun naik dan sepeda mulai melaju memutari Sekolah Dasar yang sebagian baru selesai direnovasi.
   "Di...boleh gak aku tanya sesuatu?" Ana mulai tidak sabar mencari informasi temannya itu,
    "Hmm? apa Na?" Dira sedikit menoleh,
    "Kkkkammu...umm... kamu tau Heni kan?",
   "Iya...kenapa dia?"
   "Menurut kamu Heni tu orangnya gimana sich?"
   "Biasa aja, emang kenapa?"
   Ana mulai deg-degan... "Kamu suka gak ma dia Di...?"
   "Hahahaha... suka??? nggak Na, aku sama sekali gak suka ma dia..."
   "Berhenti...berhenti...!"
   Dira mengerem sepedanya, "Kenapa Na?" tanyanya kaget,
   "Nggak, udah ach... bentar lagi mau masuk tuch, aku duluan ke kelas yach....!" ujar Ana sambil meninggalkan Dira yang masih bengong lihat tingkah lakunya. **
   "Gimana aku kasih tau Heni yach... pasti dia sedih banget. Tapi kan kita masih kecil, siapa tau suatu saat Heni balik lagi kesini dari Bogor trus bisa ketemu Dira lagi dech, kali aja Dira suka ma Heni kalo mereka udah gede nanti. iya bener... aku bilang gitu aja dech ma Heni, biar dia gak begitu sedih..."
   Ana memasuki kelas dan duduk disamping Putri dan heni. "Ayo disiapkan dulu sebelum kita mulai belajar!" perintah pak Wawan setelah dia masuk dan duduk di depan kami. "Ssiaaap....berdoa, mulai!" seorang anak laki-laki dengan tegas menyiapkan semua murid dalam kelas. semua-pun mulai tertunduk dan berdoa, kecuali Ana... yang masih memandangi ketua kelas itu dan senyum-senyum sendiri. Itulah saat pertama Ana mulai menyukai laki-laki. First love but it's monkey love (Hwahahahahahahaaha......)**
    Esoknya, seperti biasa ketika istirahat Ana dan teman-teman dekatnya (Wiwin, Wenti, Fitri, Rika) diam di sebuah warung milik ibunya Wenti. Jajan gorengan.... itulah yang dilakukan mereka setiap istirahat. warungnya Wenti tidak jauh dari sekolah, hanya menyeberang dan jalan sedikit (tapi lumayan sich....jauh :-? )
   "Sakedap deui teh ujian nya? diteraskeun kamarana atuh ieu teh?" tanya mama-nya Wenti sambil memeberikan mereka gorengan, "Nya ka SMP atuh mah........." sahut Wenti.
   "Nya pan seueur... ka SMP mana?" tanya mama-nya lebih jelas,
   "Win mah duka, ka cibadak banguna teh........." jawab Wiwin sambil menggigit gorengan,
   "Fitri ge sami bu, ka Necis mah banguna moal lebet" giliran Fitri mengambil gorengan dan menggigitnya lahap,
   "Rika mah komo deui mah, pami Wenti mah banguna lebet ka Necis.... rengkinng wae tiap taun."
   "Aah.... masuk ka necis teh pan nem na kudu gede ka.... duka teuing atuh. si neng tah kamana?"
   "Duka atuh, hoyong na mah ka necis. tapi pan gak pernah rengking, nya gak mungkin meuanan... heheeh" Ana menjawab sambil senyum-senyum sendiri. Diantara mereka, Ana memang terbilang lemah dalam hal pelajaran. kerjaannya masih mencontek dan belum bisa mandiri mengerjakan sesuatu.
   "Ngomong-ngomong rengking nya, saha nya ke nu rengking hiji? Wenti apa si Boim?" tanya Rika,
   "C Boim mah cicing cicing ti ucing nya, cicingeun kitu eeeeh....tau na mah pinter ning..." tabah Fitri sambil mencelupkan gorengannya ke dalam mangkok sambel,
   "Aaah.... Wenti deui banguna mah..." jawab Wiwin mantap,
   "Ah tong sok kitu, si Boim da banguna mah" ujar Wenti,
   "Teu kabayang nya mun si Wenti jadian jeung si Boim, anakna pasti pinter pisan..." tiba-tiba Fitri membuat Ana tersedak, "Ough.......!" Ana menahan sakit gara-gara ketidakseimbangan antara kunyahan dan telanan (maksudnya...?). "Kamu kenapa na? mah nyuhunkeun cai mah, eta kana gelas!" pinta Wenti lalu ia menyuruh Ana minum.
   "Udah.......gak apa-apa kok" ujar Ana setelah minum,
   "Si Fitri sich, ngomongnya gitu.... gak tau apa si Ana suka ma si Boim?" kata Wiwin sambil menyenggol Fitri,
    "Hhhaaahh?! Na......? beneran?" Fitri terkejut,

   "Kamu suka sama Boim????" giliran Rika menghentikan kunyahannya karena kaget,
    "Pantesan atuh.......nanya-nanya wae tentang Boim, padahal mah....." Wenti mulai menggoda Ana,
    "Iiiich..... berisik atuh malu sama mama-nya Wenti kalo kedenger gimana! ssssst...." jawab Ana sambil bisik-bisik. 
**
     Sepulangnya Ana dari sekolah, seperti biasa dia langsung merebahkan tubuhnya yang gendut itu di kasur. "Hmmh.....Boim itu cakep, pendiem, gak kayak anak-anak yang lainnya. hehehe... kamu suka gak ya sama Ana... tapi kamu kan pinter, sedangkan aku... hhhhh... bener kata Fitri sich, dia lebih cocok dijodohin sama Wenti. mereka sama-sama pinter". Ana menatap langit-langit kamarnya... seakan wajah Boim ada diatas sana, "Hayoooo....lagi ngelamunin apa?" tanya Usi tiba-tiba. 
    Usi adalah anak dari kakak ayahnya Ana yang kebetulan tinggal dirumah Ana. Gadis berumur 16 tahun itu masih sekolah di tingkat SMU.
   "Ah teteh gangguin Ana aja... ko udah pulang sich? tumben... biasanya aku pulang teh Usi belum ada. 
   "Ah males lama-lama di sekolah mau ngapain?" jawabnya datar.
   "lagi kesel sama orang sich sebenernya..... gara-gara cowok, huufh..."
   "Ooh... ternyata teh Usi udah punya pacar yaaa.....?" goda Ana sambil colek-colek genit,
    "Bukaaaaaan... baru suka aja ko..." jawab Usi dengan muka memerah,
    "Teh... aku juga lagi suka sama cowok..." ujar Ana dengan polosnya,
    "Hahh? anak kecil kamu udah suka ma cowok.... dasar genit....!" Usi menjitak kepala Ana yang nong-nong (jidatnya lebar).
    "Teteeeh.... sakit taoo....!" rengek Ana sambil mengusap-ngusap jidatnya.
    "Tapi teteh jadi penasaran, kayak gimana sich cowok yang kamu suka itu....?"
    "Ah, susah diajak ngobrol teh, pendiem banget...."
    "Gimana kalo teh kenalan sama dia lewat surat?" tawar Usi iseng,
    "Mm... boleh teh boleh, sekalian cari tau... sebenernya dia suka ma aku gak yaaa..." jawab Ana semangat.
**
    Pagi itu, seperti biasa Ana pergi kesekolah diantar ayahnya dengan motor kantor. kebetulan kantor papah masih dekat dengan sekolah Ana, malah Ana sering datang ke kantor papah saat istirahat (minta uang jajan tambahan).
    "Pah... temen-temen Ana banyak suka bawa sepeda ke sekolah kalo jam les sore, Ana sama sekali belum bisa pake sepeda... gak punya sepeda-nya juga" Ana mulai membuka pembicaraan dengan ayahnya, "Ya belajar dulu, kan bisa minta diajarin temen-temennya. suruh pada main ke rumah aja..." jawabnya simple.
    Sesampainya di sekolah, "Papah kekantor dulu yach, jangan lupa nabung!" pesan ayahnya sebelum meninggalkan Ana. "Huuu... dasar, mentang-mentang papah kerja di bank, yang diingetin malah jangan lupa nabung... ckckckck... papah papah..." Ana menggerutu sendiri dalam hatinya sambil memasuki gerbang sekolah.
    **
    "Jagain put, jangan sampe da yang liat!" pinta Ana sambil membuka sebuah tas di atas meja ketiga baris kedua dari arah pintu.
    "Cepet Na, udah belum?" tanya sahabatnya dari sejak TK itu,
    "Udah...udah..." jawab Ana sambil mendekati Putri yang celingak celinguk mengamati keadaan di luar kelas.
    "Haduuu... ko deg-degan gini ya...?" Ana mengusap-ngusap dadanya,
    "Emang isi suratnya apaan gitu Na?" tanya Putri sambil duduk di meja dekat pintu, 
    "Ada dwech....hehehe...." bisik Ana sambil kemudian tertawa,
    "Huuhhh..." akhirnya Putri cuma bisa manyun aja.
**
    Satu hari....(Esoknya.....)
    Dua hari.....(Esoknya lagi...)
    Ana menunggu balasan yang tak kunjung jua ada, sampai akhirnya...
    "Nanti ya pas istirahat di belakang sekolah..." bisik Heri,
    Dan saat istirahat-pun, Ana menunggu Heri teman dekat Boim itu di belakang sekolah. seperti itulah jalannya surat-menyurat antara Boim dan Usi. lewat Ana dan Heri. sampai pada suatu saat....
    "Na... ada salam tuch dari Boim, hahahaha......" Rico menggoda Ana sambil memesan bubur mang Aday saat jam istirahat,
    Ana bengong, lalu meninggalkan Rico, nggak jadi beli bubur karena malu.
    "Put...." Ana menghampiri Putri yang lagi ngemut permen kojek sambil duduk-duduk di atas meja,
    "Kenapa Na?" tanya Putri,
    "Tadinya mau beli bubur, tapi males ah... darimana si Rico tau ya aku suka sama Boim?" tanya Ana sambil duduk lesu di kursinya,
    "Rico? dia tau? jangan-jangan dari Boim, atau gak si Heri tuch..." jawab Putri,
    "Tega banget sich mereka bikin malu aku..." ujar Ana.
    Setelah kejadian itu, akhirnya teman-teman Ana banyak yang tau tentang Ana yang suka sama Boim. dan Ana-pun malu. bahkan ketika Ana mengajak teman-temannya mengajari-nya sepeda di rumahnya itu, mereka malah membahas masalah Boim. Rico, Reza, Hendri... teman-teman dekat di SD-nya itu tau tentang Ana.
   "Jadi bener kamu suka sama Boim?" tanya Rico,
   "IYA... kalo gitu bantuin sekalian dech, kamu cari tau dia suka ma aku nggak..." ujar Ana, yang sebenarnya kesal karena malu.
   "Boleh...boleh...tapi ada imbalannya nanti ya...hehehe..." goda Rico sambil bersepeda di epan rumah Ana,
   "Na...hayu sini aku ajarin" teriak Hendri yang menghampiri Ana dengan sepedanya,
   Ana-pun meninggalkan Rico dan mulai diajari sepeda oleh Hendri, beberapa putaran di lingkungan kavling sekitar rumahnya itu. "Ah aku capek...giliran dong, aku pengen dibonceng aja..." rengek Ana, "Ah... dasar pemalesan. yawdah sok atuh..." sahut Hendri sambil pindah posisi, dia yang mengayuh sepeda dan Ana berdiri dibonceng di belakangnya. baru sebentar saja sepeda itu melaju, hampir jatuh di belokan rumah Beben tetangga Ana, "Aaaargh..." karena ketakutan akhirnya Ana turun dari sepeda padahal Hendri belum mengerem sepedanya, akhirnya Ana jatuh... sikut dan lututnya terluka dan celananya sedikit robek.
    "Ana...." Hendri berhenti dan membantu Ana berdiri,
    "Mm... sakit Ri...." rengek Ana,
    "Ah, kamu sich, maen turun aja...."
    "Aku mau pulang....hkhkhk..."
    Akhirnya hendri mengantarkan Ana pulang, "Yawdah atuh, besok lagi aja belajarnya ya. aku, Reza ma Rico pulang dulu..." ujar Hendri setelah luka Ana dibersihakan oleh ibunya.
    "Mau dibilangin gak ma Boim? biar ditengokin?" bisik Rico jahil sebelum meninggalkan rumah Ana,
    Ana cuma manyun aja sambil menahan perih....
**
    Esok paginya, luka Ana sudah mulai kering. hanya jalannya sedikit kaku karena lututnya yang luka sedikit perih beradu dengan rok sekolah yang dipakai-nya.
    "Kenapa tuch?" tanya heri,
    "Jatoh tuch gara-gara dibonceng si Hendri" jawab Ana,
    "Ooh... eh Na, ada surat dari Boim..." ujar Heri, "Tapi nanti istirahat ya....biasa, dibelakang sekolah!" Heri langsung meninggalkan Ana.
    "Iiih... kenapa gak sekarang aja sich..." Ana berjalan lagi memasuki kelasnya.
    "Lama amat sich pak Wawan masuk kelas-nya..." suara Wiwin terdengar dari belakang kursi Ana,
    "Wooi... si bapaknya lagi rapat jadi bebas...." tiba-tiba teriakan anak laki-laki membuat semuanya bersorak dan spontan keluar kelas, ada yang jajan, ada yang malah main loncat tinggi dan sebagainya.
    Heri memberikan isyarat kepada Ana, dia hendak menyampaikan surat yang dijanjikannya tadi pagi.
    Ana-pun ditemani Putri menemui Heri dibelakang sekolah.
    "Na, katanya ini surat terakhir...." ujar Heri,
    "Kenapa?" tanya Ana sambil mengambil surat di tangan Heri,
    "Yaaa... baca aja dech sendiri..." jawab Heri sambil meninggalkan Ana dan Putri.
    Ana mulai membuka suratnya, dan kemudian membacanya pelan-pelan...
    "Apa isinya Na?" tanya Putri penasaran,
    Awalnya muka Ana sedikit merona, lalu sedikit-sedikit alisnya naik, sedikit terkejut dan menghela nafas...
    "Dasar si Edan Edun!!!" Ana kesal dan menjuluki si penulis surat dengan kesalnya.