Friday, January 28, 2011

Siapa dirimu?

Kita bertemu dalam balutan putih abu...
Kita berjabat saat hati terpadu...
Laun... Banyak pilu rindu sendu haru menyatu...
Dalam dahaga kau reguk segelas rindumu...
Dalam penantian ku lahap sepiring raguku...
(To be continue...)

Titik rindu diantara kehadirannya

"siapa?" tanya gadis,
Mama hanya menunjuk sambil tersenyum kecil...
Ada sesosok pria yang tak asing berdiri disna, dengan seragam hijau dia terlihat begitu gagah... Namun keletihannya terlihat jelas dari guratan wajah itu...
Gadis mendekatinya seperti biasa menyambut pria itu dengan senyum mnisnya.
"ada titik rindu diantara kehadiranmu sayank..."

(bagian-bagian yang hilang2)

Balutan merah

lusuh...
Kumal...
Lemah...
Tak berdaya anakmu hanya mampu menangis...
"papa... " panggilnyaa getir...
Namun tak ada sahutan... Tak ada kerinduan, tak ada senyuman, dan tak ada lagi gurauan...
"tidakkah kau mengingatku?"
Anakmu hanya mampu berteriak dalam sanubari... Dalam sepi dalam sayatan kepedihannya...
Dan kau hanya diam...diam saja...
"bagaimana jika aq &@/?! dalam balutan amarah? Dlm balutan merah..."

Doa dalam kegelisahan ana

petir itu menyambar lagi... Gerimis... Lalu semakin deras menghujam...
Ana masih berpikir dalam pandangan kosongnya, masih mencari cara tuk menepis resahnya.
"kenapa mereka teramat egois seolah tak mau perduli dan mengerti..." bisiknya dalam hati.
Beningan putih jatuh melewati pipi dan dahinya, ia mulai terisak merasakan kesakitan yang mendalam.
"sungguh aq tidak mengerti apa yang kau rencanakan ya Allah..." ana masih terisak melingkarkan tangannya dikedua siku kaki yang terlipat disamping jendela dalam kamar kosong dan gelap.
"tunjukkan jalanmu ya Allah, sungguh aq tak mau seperti ini terus menerus..." ana sepertinya ingin berteriak dalam kebisuan yang tengah mematikan syaraf-syaraf-nya... "jika ini sesuatu yang benar adanya walaupun pahit, sungguh aq ingin menjaganya bukan menghapusnya... Karena aq menginginkannya walau sebenarnya tak tepat di waktu ini tapi aq tau kau pasti punya rencana lain..."
Ana mengangkat dagunya dan mengusap airmata yang tak henti keluar dari sudut matanya yang merah.
"aq tak akan menyerah..."
Ia berusaha tersenyum diantara kebinaran dan pilu yang semakin merenggut keingnannya selama ini...

Tuk kesekian kali

sekelumit mimpi menjadi bagian asa... segenggam asa menjadi bagian rasa... setitik rasa menjadi bagian yang hilang...
Pelan-pelan memudar, mengenyam, timbul dan kembali normal...
Lantas ragu menggebu, berserakan, menghujam, hilang dan kembali normal...
Titik hitam terhapus, tercoret, lekat, legam dan kembali normal...
Sendirian kuat, makin rapuh, patah, terjatuh, dan kembali normal...
Kembali normal... Tuk kesekian kali, kembali normal...

Goresan masa kecil

5 tahun tlah berlalu...
Kau rengkuh dengan sembilu...
Kau masih polos saat itu...
Tak mengerti tak menentu...

Keluguan itu menggemaskan, namun mereka tak peduli, kejengkelan, kebencian, semua menghancurkan kebahagiaan masa itu... Masa kecilmu...

Mataku tak mampu memandang
Hatiku tak mampu menerka
Kau buat harapan meregang
Dan mata mereka terbuka

Ada berbagai guratan dendam
Gelombang bara dari ketidakadilan...

Tapi kau hanya 'DIAM'
Semua takkan tau!
Bolehkah aq berkata...?
Dengarkan...

Kakak takkan biarkan goresan masa kecilmu terbuka, maka sayangilah kami...
Karena goresan itu tak mampu hilang
Tapi kami mampu mengobatinya.

Wednesday, January 19, 2011

2. Si Bulu Kuda

2. Si Bulu Kuda
            Ana masih kesal dengan surat yang dibacanya tadi, dia melamun dalam kelas… “Udahlah Na…dia tuch emang bego aja, masa malah suka ma yang nulis suratnya. Berarti sama teh Usi donk? Suka ma yang lebih tua? Padahal kan kamu cantik Na. udahlah jangan dipikirin….” Putri mengusap-ngusap bahu Ana, Wiwin yang sudah tahu dari Putri bagaimana kagetnya Ana ketika membaca surat dari Boim itu-pun ikut menemani Ana dan menghiburnya.
            “Hey Na…?” tiba-tiba Reza mendekati Ana, Wiwin dan Putri yang kesal dengan candaannya Reza yang selalu garing itu diam-diam meninggalkan Ana dan reza.
            “Eh…pada kemana…? Kabbur mereka…” ujar Reza,
            Ana masih terdiam dan memikirkan Boim,
            “Na, lagi patah hati ya? Hmhh… kalau mau tau si Boim suka apa nggak ma kamu, kenapa gak panas-panasin aja? Kalau dia cemburu, itu artinya dia suka sama kamu Na!” Reza ceplas-ceplos aja menjelaskan sebuah jurus penakluk cinta yang entah darimana ia tau,
            “Tapi sama siapa… anak-anak cowok di kelas kan pada culun semua termasuk kamu tuch!” ujar Ana,
            “Ada… dan dia masih temen deketnya Boim…”
            Ana mengernyitkan alisnya, “siapa Za?”
            “Gingin….” Jawabnya pelas,
            “Hahh? Ketuaan buat aku dia mah… ich…nggak ah, takut…” Ana geleng-geleng kepala,
            “Ya kan Cuma pura-pura say….!” Jelas Reza.
**
            Ana, anak perempuan yang pendiam ini bertubuh gemuk. Rambutnya panjang terurai bergelombang agak pirang. Kulit-nya yang putih membuat dia tampak cantik dan imut. Namun selalu… tidak bisa ia pungkiri, kelebihan lemak ditubuhnya membuat ia selalu diolok-olok temannya di mana-pun. Apalagi ketika ia minta di potong rambut karena selalu merasa gerah. Mamah memotong rambut Ana sampai pundak. Potongan anak lelaki, itu membuat Ana jadi tampak lebih bulat. Tapi Ana tidak pernah marah pada siapapun yang mengoloh-oloknya.
            Sore itu, seperti biasa Wiwin main ke rumah Ana. Ada saja yang mereka mainkan setiap sore-nya. Kadang bermain congklak, main karet, main boneka, bepe-bepe an, bekel, sondah,dan yang lainnya. Tapi permainan sering mereka mainkan itu congklak, walaupun Ana selalu dikalahkan Wiwin, tapi dia selalu senang kalau ada temannya main ke rumah menemaninya.
            “Ana…Ana….!” Teriak Wiwin dari halaman rumah Ana,
            “Bentaaaaaaaar…!” sahut Ana sambil berlari dari dapur,
            “Masuk Win, Ana baru bantuin mamah masak. Udah beres ko, bentar Ana shalat dulu ya!” Ana membiarkan Wiwin menunggu. Ana bukanlah anak yang rajin shalat atau pintar mengaji. Tapi semenjak pamannya (adik ayahnya) tinggal dirumah, ia selalu di ceramahi. Paman yang cerewet dan selalu mengingatkan Ana shalat, ia juga yang mengajari Ana mengaji. Maka dari itu, Ana lebih takut pada pamannya daripada sang Ayah.
            “Mau main apa Win?” tanya Ana setelah keluar dari kamarnya,
            “Na, ada Gingin di depan sana!” bisik Wiwin sambil menunjuk ke arah pintu gerbang rumah Ana,
            “Hhahhh!?” Ana kaget dan celingukan, “Mo ngapain…?” tanyanya,
            “Pengen ngomong ma kamu tuch katanya, gak tau dech apaan…”
            Ana bingung dan terdiam,
            “Udah temuin dulu aja, yuk…” Wiwin menarik lengan Ana, mereka-pun keluar menemui Gingin yang lagi jongkok depan rumah Ana bersama temannya.
            “Mau ngapain sich?” tanya Ana,
            “Eh…Ana, aku mau ngomong…” ujar Gingin,
            “Disana aja dech ngobrolnya, jangan disini!” pinta Ana sambil berjalan menuju jembatan dekat kavling lingkungan rumahnya itu.
            Wiwin dan temannya Gingin-pun mengikuti dan menemani mereka.
            “Apa…?” tanya Ana langsung tanpa basa-basi,
            “Kamu mau gak jadi pacarnya Gingin?” tembak Gingin,
            Ana tercengang, “Ya ampun, ini pertama kalinya aku di tembak…tapi kenapa malah sama si Gingin ini….haduuuh….gimana nich, aku nggak mau, takut… mukanya serem gitu…” bisik Ana dalam hatinya.
            “Sst…” Wiwin menyenggol lengan Ana, “terima aja…”
            “Kalau dia macem-macem gimana… hmhh… tapi kata Reza, kalau mau tau Boim suka ma aku pa nggak, buat dia cemburu aja… apa ini kesempatan aku buat manas-manasin si edan edun ntu…” Ana masih berbicara dalam hatinya, ia berpikir cukup lama membiarkan Gingin menunggunya.
            “Na…?” Gingin membuat Ana berhenti lama-lama berpikir,
            “Iya dech….” Jawab Ana singkat.
            Mereka bersalaman lalu berpisah begitu saja, mungkin dengan mereka bersalaman itu menandakan mereka sudah resmi pacaran. Tapi sikap Ana tetap tidak baik menghadapi Gingin yang ditakutinya itu.
            Gingin pulang bersama temannya, Ana-pun mulai melangkah kembali ke rumahnya bersama Wiwin. “Win pan heureuy tadi Na, ko jadi diterima beneran?” tanya Wiwin polos, Ana melirik Wiwin “Tenang aja, ini caranya kita nyari tau tu si edan edun the suka nggak ma Ana” jelas Ana sambil berjalan.
            “Na…!” seorang bapak-bapak memanggilnya dari rumah Beben,
            “Siapa tu Na?” tanya Wiwin,
            “Papahnya si Beben….” Jawab Ana, “Iya pak?”
            "Abis ngapain? ketemu ma anak-anak itu yach?" tanya papahnya Beben sambil nunjuk sesosok anak laki-laki yang sudah menjauh dari lingkungan kavling rumah Ana,
            "Dia nunjuk si Gingin ya Na?" bisik Wiwin,
            "Iya sich kayak'a........" Ana berbisik jg,
            "Hati-hati.... kayaknya anak gak bener, tadi aja ngerokok nongkrong di depan" ujar papahnya Beben dengan seriusnya,
            "Oh...iya pak iya...." Ana cuma ngangguk-ngangguk aja, "Ko jadi nyesel ya dah terima dia tadi..." ujar Ana dalam hati.
**
            Esoknya di sekolah, suasana dah mulai berbeda... siswa yang masih duduk di kelas 6 SD itu belum mengerti cinta itu kayak apa, kata jadian cuma pelengkap aja yang bisa dijadikan senjata untuk memerangi sifat dinginnya Boim. 
               "Ana........katanya kamu dah jadian ma Gingin?" tanya Reza,
               "Kata siapa?" Ana balik tanya sambil menyalin catatan pak Wawan di bor,
               "Ya dianya sendiri yang bilang.......si Boim juga dah tau lho!" jelas Reza,
               "Terus??? apa kata dia?" mendengar nama Boim, Ana langsung semangat ingin tau....
               "Nggak apa-apa...dia cuek aja..." jawab Reza, membuat Ana bingung...
               "Suwe...."
               "Suwe ora jamu...?" Reza masih aja godain Ana,
               "Suwe suwetaan.......huuuufht.... udah jadian ma cowok laen eh dia malah cuek. tu artinya dia emang gak suka dong ma Ana...!!!" Ana mulai kesal.
              "Lagian kamu ko mau-maunya sama Gingin, dia tuch udah tua tau! liat tuch kakinya banyak bulunya...ihh...geli tau...!" ujar Wiwin yang daritadi duduk di samping Ana,
                      "Iya yach...kayak apa tuch Win?"
                      "Kaya bulu kuda....! hahahaha....."
                      Ana dan Wiwin terus saja menertawakan Gingin, dan akhirnya Ana memutuskan Gingin karena memang dari awal ini cuma dia lakukan untuk Boim dan ternyata usahanya Gatot, alias gagal total.
 


           

           

Sunday, January 16, 2011

HAMPA

Masih sangat melekat, ketika memandangimu di depan pintu kelas 1C
ketika putih abu melekat di tubuhku..............
Dan masih jelas, suaramu ketika langsung kau inginkan aku
menjadi kekasihmu.............
tak ada alasan menolakmu, tak jua kau berikan waktu tuk aku berfikir,
dan anggukan kecil bersamaan senyum merona terpancar dari wajah ini,
wajah yang masih segar........

setiap jam setiap harinya.......cinta semakin tumbuh...tumbuh...tumbuh...
setiap ba'da subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya bahkan shalat sunat,
kau yang ingatkan........ tidak terlepas pada waktu makan, kau-pun
kau yang ingatkan...............

Berjuta, sejujurnya lebih, bahkan jika air dilautan di pecahkan jadi butiran-pun masih labih dari itu,
begitu..... begitu perasaan cintaku tumbuh untukmu,
sedikit saja berpaling darimu, aku selalu...selalu ingin kembali.
kembali, kepadamu.....................

sudah terlepas dari putih abu, ber almamaterlah aku......
aku bahkan masih ada slalu untukmu........
tidak, aku tidak bisa menerima yang baru, siapapun mereka.....
selalu dihati selalu kamu....................

dan seperti berevolusi, sifatku sifatmu selalu berubah.........
bagaimana-pun itu, selalu aku ada untukmu..............

dimataku, sungguh sempurna dirimu,
kebanggaan hatiku.........

bahkan ketika sesosok pelindungku tak bertanggung jawab,
kau slalu ada untukku.........
membuat aku tau, bahwa tidak semua lelaki itu seperti dia.

hingga aku rasa........aku tidak ingin berlama-lama
aku ingin selalu ada untukmu,
benar-benar mendampingimu,
semua berubah..............

kesibukan kita menjadi jarak...........
kebutuhan kita menjadi tujuan............

kita berpisah,
aku menemukan yang lain
kau-pun bermain-main.......................

3 bulan sepertinya sudah biasa dibanding sebelumnya
selalu berpisah dan bersatu lagi,
seperti sudah biasa...................antara kita

kau kembali aku kembali padamu
sudah biasa..........................
tapi........... aku tetap ingin
sesuatu....................
yang menjadikan kita bersatu selamanya
tak ada lagi penggoda
tak ada lagi............

semua berjalan, namun kau tetap
menggantungkan harapan
semua..........
kau mampu berkata apapun
kau sangat hebat
terlalu hebat
terlalu pintar
akhirnya aku hanya bisa mengangguk
dan percaya pada sang pujaan hati, engkau

aku selalu berharap, disetiap waktuku,
disetiap doa ku, di setiap basuhan airmataku
Allah kan mendengar dan mengabulkannya

dan tidak ada yang tahu..........
Allah ternyata maha adil
Subhanallah................
ia maha penyayang......
ia berikan aku jawaban atas permintaan yang selalu aku lontarkan
di setiap malam-malam yang ku punya,
 ia membukakan mataku,
mata yang selama ini tertutup...............
dan akhirnya aku tau,
selama ini aku buta................
aku BUTA.

dan dalam kebutaan itu, bahkan sampai saat aku sadar saat ini
saat ini, aku berada dalam ruang kosong
ruang yang HAMPA
ada dalam HAMPA

17 januari 2011 01:30

Thursday, January 13, 2011

1- si Edan Edun

1.      Si Edan Edun   
Biru langit tampak cerah dengan segudang senyum anak-anak berseragam putih merah. celoteh-celoteh nakal dan manja menjadi sebuah warna menggantikan indahnya pelangi di sore hari. "Awaaaaaas.....!" seorang anak lelaki bertopi hampir menabrak Ana dengan sepedanya, "Aaarrrggghhhh..... Reza..............! awas kamu....!!!" Ana terjatuh dan kemudian mulai berdiri mengejar Reza, tapi kemudian langkahnya terhenti dan mengingat sesuatu....
   "Iya Na... aku suka banget ma Dira, kamu mau kan bantuin aku? ya Na ya....? aku pengen tau dia suka gak ma aku, sebelum aku pindah ke Bogor" Ana ingat kata-kata Heni tadi pagi di kelas. "Duh... kasihan juga Heni, nggak ada salahnya aku bantuin dia" mata Ana mulai tajam mencari sesosok Dira, salah satu anak yang lincah, tapi akhir-akhir ini menjadi pendiam, "Tapi anak itu aneh... hmh... gimana caranya aku bantuin Heni. Apa aku tanya langsung aja ya sebelum les di mulai..." Ana mulai berpikir dan mencari-cari Dira.
   "Eh...Dira...tunggu...!" begitu melihat Dira yang lagi asyik maen sepeda, Ana langsung memanggil dan menghampirinya. "Aku boleh donk ikut naik sepeda kamu?" tanya Ana, "Mau pinjem sepeda aku?" Dira malah balik tanya, "Aku nggak bisa Dir, bonceng aja yach?" pinta Ana. "Haduh...Dira pasti deh curiga, aku kan gak semanja itu ma temen-temen yang laen, pake minta dibonceng sepeda segala lagi, ngomong apa sich aku nich..." Ana mulai kebingungan sendiri. Untungnya Dira baik dan tidak curiga, "Ya udah dech, ayo...!" ajaknya menunggu Ana naik ke sepedanya. Ana hanya tersenyum masih bingung, tapi apa boleh buat dia-pun naik dan sepeda mulai melaju memutari Sekolah Dasar yang sebagian baru selesai direnovasi.
   "Di...boleh gak aku tanya sesuatu?" Ana mulai tidak sabar mencari informasi temannya itu,
    "Hmm? apa Na?" Dira sedikit menoleh,
    "Kkkkammu...umm... kamu tau Heni kan?",
   "Iya...kenapa dia?"
   "Menurut kamu Heni tu orangnya gimana sich?"
   "Biasa aja, emang kenapa?"
   Ana mulai deg-degan... "Kamu suka gak ma dia Di...?"
   "Hahahaha... suka??? nggak Na, aku sama sekali gak suka ma dia..."
   "Berhenti...berhenti...!"
   Dira mengerem sepedanya, "Kenapa Na?" tanyanya kaget,
   "Nggak, udah ach... bentar lagi mau masuk tuch, aku duluan ke kelas yach....!" ujar Ana sambil meninggalkan Dira yang masih bengong lihat tingkah lakunya. **
   "Gimana aku kasih tau Heni yach... pasti dia sedih banget. Tapi kan kita masih kecil, siapa tau suatu saat Heni balik lagi kesini dari Bogor trus bisa ketemu Dira lagi dech, kali aja Dira suka ma Heni kalo mereka udah gede nanti. iya bener... aku bilang gitu aja dech ma Heni, biar dia gak begitu sedih..."
   Ana memasuki kelas dan duduk disamping Putri dan heni. "Ayo disiapkan dulu sebelum kita mulai belajar!" perintah pak Wawan setelah dia masuk dan duduk di depan kami. "Ssiaaap....berdoa, mulai!" seorang anak laki-laki dengan tegas menyiapkan semua murid dalam kelas. semua-pun mulai tertunduk dan berdoa, kecuali Ana... yang masih memandangi ketua kelas itu dan senyum-senyum sendiri. Itulah saat pertama Ana mulai menyukai laki-laki. First love but it's monkey love (Hwahahahahahahaaha......)**
    Esoknya, seperti biasa ketika istirahat Ana dan teman-teman dekatnya (Wiwin, Wenti, Fitri, Rika) diam di sebuah warung milik ibunya Wenti. Jajan gorengan.... itulah yang dilakukan mereka setiap istirahat. warungnya Wenti tidak jauh dari sekolah, hanya menyeberang dan jalan sedikit (tapi lumayan sich....jauh :-? )
   "Sakedap deui teh ujian nya? diteraskeun kamarana atuh ieu teh?" tanya mama-nya Wenti sambil memeberikan mereka gorengan, "Nya ka SMP atuh mah........." sahut Wenti.
   "Nya pan seueur... ka SMP mana?" tanya mama-nya lebih jelas,
   "Win mah duka, ka cibadak banguna teh........." jawab Wiwin sambil menggigit gorengan,
   "Fitri ge sami bu, ka Necis mah banguna moal lebet" giliran Fitri mengambil gorengan dan menggigitnya lahap,
   "Rika mah komo deui mah, pami Wenti mah banguna lebet ka Necis.... rengkinng wae tiap taun."
   "Aah.... masuk ka necis teh pan nem na kudu gede ka.... duka teuing atuh. si neng tah kamana?"
   "Duka atuh, hoyong na mah ka necis. tapi pan gak pernah rengking, nya gak mungkin meuanan... heheeh" Ana menjawab sambil senyum-senyum sendiri. Diantara mereka, Ana memang terbilang lemah dalam hal pelajaran. kerjaannya masih mencontek dan belum bisa mandiri mengerjakan sesuatu.
   "Ngomong-ngomong rengking nya, saha nya ke nu rengking hiji? Wenti apa si Boim?" tanya Rika,
   "C Boim mah cicing cicing ti ucing nya, cicingeun kitu eeeeh....tau na mah pinter ning..." tabah Fitri sambil mencelupkan gorengannya ke dalam mangkok sambel,
   "Aaah.... Wenti deui banguna mah..." jawab Wiwin mantap,
   "Ah tong sok kitu, si Boim da banguna mah" ujar Wenti,
   "Teu kabayang nya mun si Wenti jadian jeung si Boim, anakna pasti pinter pisan..." tiba-tiba Fitri membuat Ana tersedak, "Ough.......!" Ana menahan sakit gara-gara ketidakseimbangan antara kunyahan dan telanan (maksudnya...?). "Kamu kenapa na? mah nyuhunkeun cai mah, eta kana gelas!" pinta Wenti lalu ia menyuruh Ana minum.
   "Udah.......gak apa-apa kok" ujar Ana setelah minum,
   "Si Fitri sich, ngomongnya gitu.... gak tau apa si Ana suka ma si Boim?" kata Wiwin sambil menyenggol Fitri,
    "Hhhaaahh?! Na......? beneran?" Fitri terkejut,

   "Kamu suka sama Boim????" giliran Rika menghentikan kunyahannya karena kaget,
    "Pantesan atuh.......nanya-nanya wae tentang Boim, padahal mah....." Wenti mulai menggoda Ana,
    "Iiiich..... berisik atuh malu sama mama-nya Wenti kalo kedenger gimana! ssssst...." jawab Ana sambil bisik-bisik. 
**
     Sepulangnya Ana dari sekolah, seperti biasa dia langsung merebahkan tubuhnya yang gendut itu di kasur. "Hmmh.....Boim itu cakep, pendiem, gak kayak anak-anak yang lainnya. hehehe... kamu suka gak ya sama Ana... tapi kamu kan pinter, sedangkan aku... hhhhh... bener kata Fitri sich, dia lebih cocok dijodohin sama Wenti. mereka sama-sama pinter". Ana menatap langit-langit kamarnya... seakan wajah Boim ada diatas sana, "Hayoooo....lagi ngelamunin apa?" tanya Usi tiba-tiba. 
    Usi adalah anak dari kakak ayahnya Ana yang kebetulan tinggal dirumah Ana. Gadis berumur 16 tahun itu masih sekolah di tingkat SMU.
   "Ah teteh gangguin Ana aja... ko udah pulang sich? tumben... biasanya aku pulang teh Usi belum ada. 
   "Ah males lama-lama di sekolah mau ngapain?" jawabnya datar.
   "lagi kesel sama orang sich sebenernya..... gara-gara cowok, huufh..."
   "Ooh... ternyata teh Usi udah punya pacar yaaa.....?" goda Ana sambil colek-colek genit,
    "Bukaaaaaan... baru suka aja ko..." jawab Usi dengan muka memerah,
    "Teh... aku juga lagi suka sama cowok..." ujar Ana dengan polosnya,
    "Hahh? anak kecil kamu udah suka ma cowok.... dasar genit....!" Usi menjitak kepala Ana yang nong-nong (jidatnya lebar).
    "Teteeeh.... sakit taoo....!" rengek Ana sambil mengusap-ngusap jidatnya.
    "Tapi teteh jadi penasaran, kayak gimana sich cowok yang kamu suka itu....?"
    "Ah, susah diajak ngobrol teh, pendiem banget...."
    "Gimana kalo teh kenalan sama dia lewat surat?" tawar Usi iseng,
    "Mm... boleh teh boleh, sekalian cari tau... sebenernya dia suka ma aku gak yaaa..." jawab Ana semangat.
**
    Pagi itu, seperti biasa Ana pergi kesekolah diantar ayahnya dengan motor kantor. kebetulan kantor papah masih dekat dengan sekolah Ana, malah Ana sering datang ke kantor papah saat istirahat (minta uang jajan tambahan).
    "Pah... temen-temen Ana banyak suka bawa sepeda ke sekolah kalo jam les sore, Ana sama sekali belum bisa pake sepeda... gak punya sepeda-nya juga" Ana mulai membuka pembicaraan dengan ayahnya, "Ya belajar dulu, kan bisa minta diajarin temen-temennya. suruh pada main ke rumah aja..." jawabnya simple.
    Sesampainya di sekolah, "Papah kekantor dulu yach, jangan lupa nabung!" pesan ayahnya sebelum meninggalkan Ana. "Huuu... dasar, mentang-mentang papah kerja di bank, yang diingetin malah jangan lupa nabung... ckckckck... papah papah..." Ana menggerutu sendiri dalam hatinya sambil memasuki gerbang sekolah.
    **
    "Jagain put, jangan sampe da yang liat!" pinta Ana sambil membuka sebuah tas di atas meja ketiga baris kedua dari arah pintu.
    "Cepet Na, udah belum?" tanya sahabatnya dari sejak TK itu,
    "Udah...udah..." jawab Ana sambil mendekati Putri yang celingak celinguk mengamati keadaan di luar kelas.
    "Haduuu... ko deg-degan gini ya...?" Ana mengusap-ngusap dadanya,
    "Emang isi suratnya apaan gitu Na?" tanya Putri sambil duduk di meja dekat pintu, 
    "Ada dwech....hehehe...." bisik Ana sambil kemudian tertawa,
    "Huuhhh..." akhirnya Putri cuma bisa manyun aja.
**
    Satu hari....(Esoknya.....)
    Dua hari.....(Esoknya lagi...)
    Ana menunggu balasan yang tak kunjung jua ada, sampai akhirnya...
    "Nanti ya pas istirahat di belakang sekolah..." bisik Heri,
    Dan saat istirahat-pun, Ana menunggu Heri teman dekat Boim itu di belakang sekolah. seperti itulah jalannya surat-menyurat antara Boim dan Usi. lewat Ana dan Heri. sampai pada suatu saat....
    "Na... ada salam tuch dari Boim, hahahaha......" Rico menggoda Ana sambil memesan bubur mang Aday saat jam istirahat,
    Ana bengong, lalu meninggalkan Rico, nggak jadi beli bubur karena malu.
    "Put...." Ana menghampiri Putri yang lagi ngemut permen kojek sambil duduk-duduk di atas meja,
    "Kenapa Na?" tanya Putri,
    "Tadinya mau beli bubur, tapi males ah... darimana si Rico tau ya aku suka sama Boim?" tanya Ana sambil duduk lesu di kursinya,
    "Rico? dia tau? jangan-jangan dari Boim, atau gak si Heri tuch..." jawab Putri,
    "Tega banget sich mereka bikin malu aku..." ujar Ana.
    Setelah kejadian itu, akhirnya teman-teman Ana banyak yang tau tentang Ana yang suka sama Boim. dan Ana-pun malu. bahkan ketika Ana mengajak teman-temannya mengajari-nya sepeda di rumahnya itu, mereka malah membahas masalah Boim. Rico, Reza, Hendri... teman-teman dekat di SD-nya itu tau tentang Ana.
   "Jadi bener kamu suka sama Boim?" tanya Rico,
   "IYA... kalo gitu bantuin sekalian dech, kamu cari tau dia suka ma aku nggak..." ujar Ana, yang sebenarnya kesal karena malu.
   "Boleh...boleh...tapi ada imbalannya nanti ya...hehehe..." goda Rico sambil bersepeda di epan rumah Ana,
   "Na...hayu sini aku ajarin" teriak Hendri yang menghampiri Ana dengan sepedanya,
   Ana-pun meninggalkan Rico dan mulai diajari sepeda oleh Hendri, beberapa putaran di lingkungan kavling sekitar rumahnya itu. "Ah aku capek...giliran dong, aku pengen dibonceng aja..." rengek Ana, "Ah... dasar pemalesan. yawdah sok atuh..." sahut Hendri sambil pindah posisi, dia yang mengayuh sepeda dan Ana berdiri dibonceng di belakangnya. baru sebentar saja sepeda itu melaju, hampir jatuh di belokan rumah Beben tetangga Ana, "Aaaargh..." karena ketakutan akhirnya Ana turun dari sepeda padahal Hendri belum mengerem sepedanya, akhirnya Ana jatuh... sikut dan lututnya terluka dan celananya sedikit robek.
    "Ana...." Hendri berhenti dan membantu Ana berdiri,
    "Mm... sakit Ri...." rengek Ana,
    "Ah, kamu sich, maen turun aja...."
    "Aku mau pulang....hkhkhk..."
    Akhirnya hendri mengantarkan Ana pulang, "Yawdah atuh, besok lagi aja belajarnya ya. aku, Reza ma Rico pulang dulu..." ujar Hendri setelah luka Ana dibersihakan oleh ibunya.
    "Mau dibilangin gak ma Boim? biar ditengokin?" bisik Rico jahil sebelum meninggalkan rumah Ana,
    Ana cuma manyun aja sambil menahan perih....
**
    Esok paginya, luka Ana sudah mulai kering. hanya jalannya sedikit kaku karena lututnya yang luka sedikit perih beradu dengan rok sekolah yang dipakai-nya.
    "Kenapa tuch?" tanya heri,
    "Jatoh tuch gara-gara dibonceng si Hendri" jawab Ana,
    "Ooh... eh Na, ada surat dari Boim..." ujar Heri, "Tapi nanti istirahat ya....biasa, dibelakang sekolah!" Heri langsung meninggalkan Ana.
    "Iiih... kenapa gak sekarang aja sich..." Ana berjalan lagi memasuki kelasnya.
    "Lama amat sich pak Wawan masuk kelas-nya..." suara Wiwin terdengar dari belakang kursi Ana,
    "Wooi... si bapaknya lagi rapat jadi bebas...." tiba-tiba teriakan anak laki-laki membuat semuanya bersorak dan spontan keluar kelas, ada yang jajan, ada yang malah main loncat tinggi dan sebagainya.
    Heri memberikan isyarat kepada Ana, dia hendak menyampaikan surat yang dijanjikannya tadi pagi.
    Ana-pun ditemani Putri menemui Heri dibelakang sekolah.
    "Na, katanya ini surat terakhir...." ujar Heri,
    "Kenapa?" tanya Ana sambil mengambil surat di tangan Heri,
    "Yaaa... baca aja dech sendiri..." jawab Heri sambil meninggalkan Ana dan Putri.
    Ana mulai membuka suratnya, dan kemudian membacanya pelan-pelan...
    "Apa isinya Na?" tanya Putri penasaran,
    Awalnya muka Ana sedikit merona, lalu sedikit-sedikit alisnya naik, sedikit terkejut dan menghela nafas...
    "Dasar si Edan Edun!!!" Ana kesal dan menjuluki si penulis surat dengan kesalnya.

'Bagian-bagian yg Hilang'

Kuambil tiap kepingnya...

Terlalu berserakan...

Lenganku tak sampai...

Jika kuhitung... Terlalu lelah bibir ini, bahkan telunjukku-pun lelah menunjuknya satu demi satu...

Namun tak pernah berhenti...

Karena semua harapan itu... Ada dalam
bagian - bagian yang hilang...

Doa sang pujangga

Tuhan... Bila kesedihan ini adalah inspirasi, maka aq takkan lelah menulis syair-syair indah dalam kegelapan... Tuhan... Bila kekecewaan ini adalah bentuk cobaan, maka aq takkan lelah tuk mulai merangkai keindahan baru dalam jejak langkahku... Tuhan... Jika harus airmata ini terjatuh ditiap malamnya, maka aq rela hanya tuk bersujud dihadapmu...Tuhan... Jika masih kau beri waktuku, maka berilah aq ketenangan ketika kuterjaga behkan ketika kuterlelap dipangkuan sang malam...

"Titik hitam dlm merah dlm merah"

Jika sampai sini usiaku maka aq akan bersyukur tuk tidak lagi membuat hitam dalam putih...
Jika sampai sini usiaku maka aq akan bersyukur tuk tidak merasakn merah dalam kemilau putih...
Jika sampai sini usiaku maka aq akan bersyukur tuk tidak merasakn penghianatan dalam hitam dalam merah...
Jika titik hitam dalam merah dalam merah... Ternyata masih buatku membuka kelopak mata... Maka aq akan bersyukur karena kesempatan masih memberiku peluang menghapusnya menghapus titik hitam dalam merah dalam merah...