Monday, February 20, 2012

8. RONA BIRU DI BATU HIU


          Ini adalah hari pertama aku masuk kelas tiga SMP, walaupun sudah dua tahun sekolah tapi tetap saja awal tahun selalu harus beradaptasi lagi karena teman yang berbeda dan kelas yang berbeda dan porsi pelajaran yang padat karena menghadapi ujian akhir.
“Aku telat…!” teriak Pipi sambil berlari masuk kelas.
“Tenang aja… gurunya belum masuk kok!” ujar Nurani yang duduk tepat di belakangku,
“Umm… udah pada penuh yach, aku duduk dimana yach?” Pipi celingukan mencari kursi yang masih kosong,
“Aku masih duduk sendiri…!” ujarku,
Pipi tersenyum padaku, “Boleh?” tanyanya,
Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya.
Akhirnya aku punya teman baru, dan ternyata Pipi tinggal di daerah yang sama denganku jadi kami semakin dekat saja. Dari hari itu kami sering pergi bersama, main bersama… dan kami bersahabat. Oiya… selain Pipi, aku juga dekat dengan yang lainnya. Kelas baru ini sangat menyenangkan karena semuanya sangat kompak, ditambah lagi ada Dira teman lamaku yang selalu usil tapi sepi rasanya jika sehari aja dia nggak datang ke sekolah. Satu lagi… ternyata kelas baru ini juga mempertemukan aku kembali dengan sang mantan, Anjar.
***
“Jadi… x=y, bila y=2… maka …. X=….” Pak Asep menjelaskan rumus matematika di dalam kelas kami, dan seperti biasa aku cepat mengerti tapi kalau udah dikasih PR mulai lemot lagi otaknya. Begitulah cepat mengerti dikelas, tapi cepat lupa sampai rumah. Kecuali pelajaran Bahasa Inggris, pelajaran yang gurunya teramat sangat killer, hanya kebetulan aku mengambil kursus Bahasa Inggris diluar sekolah jadi lumayanlah… ketika anak-anak yang lain distrap gak boleh masuk kelas kalo PR tidak dikerjakan, aku masih bisa duduk enak karena Lembar Kerjaku sudah terisi semua dengan baik. Dan aku selalu tertawa ketika Dira temanku yang konyol itu kena hukuman karena tidak mengerjakan PR Bahasa Inggris, lucu saja… dia itu anak lelaki yang sangat unik. Aku mulai menyukainya…
Setelah mengikuti pelajaran yang penuh rumus itu akhirnya sampai pada jam terakhir aku dan semua teman sekelasku menuju laboratorium. Karena kami akan mempelajari ilmu fisika… sering praktek sehingga kami diminta duduk perkelompok. Entah mengapa aku selalu saja didekatkan dengan Dira. Didekatnya aku selalu merasa nyaman… walau selalu saja dia menggoda dan meledek kadang-kadang menyebalkan… tapi sebenarnya tanpa itu semua aku mungkin tidak akan memperhatikannya.
“Aduh…” aku tiba-tiba merasakan sakit dibagian perutku sampai tidak kuat duduk tegak dikursi,
“Kenapa Na?” Tanya Pipi yang melihatku mengaduh sambil menyender pada meja. Aku tidak kuat menjawab, sakit sekali…
“Na… kamu kenapa?” Dira melihatku dan terlihat sedikit khawatir.
Aku hanya menggeleng dan jariku menunjuk perut yang tiba-tiba mendadak melilit dan sakit.
“sakit perut? Belum makan kali kamu yach?” tanyanya lagi,
“Gimana dong Na…? Kamu kuat gak ikut belajar? Apa mau minta ijin pulang duluan aja?” Tanya Pipi,
“Nggak usah. Aku kuat ko… aku mau ikut belajar dulu, aku nggak apa-apa” jawabku sambil berusaha kuat dan menahan sakit.
***
Usai pelajaran Fisika, bel-pun berbunyi… dan aku dengan perlahan berjalan pulang sambil digandeng Pipi.
Sesampainya dirumah aku hanya istirahat tidur dikamar seperti biasa, aku pikir mungkin ini hanya maag saja karena telat makan akhirnya sakit melilit. Setelah beberapa jam tertidur, aku mencoba bangun dan entah kenapa sebelah kakiku terasa ngilu dan pegal sekali.
“Sayang… gimana masih sakit?” Tanya mamah yang baru masuk ke kamarku,
“Mah… aku nggak kuat sakit banget…” rengekku yang masih lemas terbaring,
“Kita periksa ke dokter aja yach…” ajak mamah, aku hanya menggangguk saja.
***
“Apa? Operasi???” aku kaget setengah mati mendengar anjuran dokter spesialis dalam di salah satu klinik,
“Kira-kira kapan harus dioperasinya Dok…?” Tanya mamah,
“Sebaiknyaa cepat dioperasi kalau bisa malam ini juga, karena usus buntunya itu udah kronis Bu…” jelas Dokter,
Mamah menatapku dan akhirnya menuruti apa kata Dokter. Kami langsung minta surat rujukan dan pergi kerumah sakit dekat klinik. Aku masih ketakutan mendengar kata ‘operasi’, melihat jarum suntik saja aku sudah ngeri sekali apalagi gunting, jahitan… operasi…
“Tolong semuanya dilepas yach… dan ini dipakai” ujar seorang perawat sambil menyerahkan baju operasi padaku, kain biru yang entah apa bentuknya… tidak menyerupai baju…
Aku memasuki ruang operasi ditemani seorang perawat yang sangat cantik dan baik, mamah hanya menatapku dari jauh… terlihat rautnya yang sedih. Aku tidak tahu operasi seperti apa bagi penderita usus buntu, kedengarannya bukan penyakit yang mematikan tapi pada kenyataannya ketika menghadapi operasi benar-benar sangat mendebarkan dan menakutkan.
Operasi berlangsung selama satu jam setengah, dan aku masih tidak sadarkan diri sampai pagi tiba…
Mamah memberikan surat keterangan sakit ke sekolahku dan semua teman-teman kelasku tau, akhirnya di siang harinya kamar rumah sakit tempat aku diopname itu penuh dengan anak berseragam putih biru. Mereka dating sebentar sampai setelah mereka pamit pulang, tak lama Pipi dating bersama beberapa teman yang lainnya. Aku piker dia dating bersama Dira… ketika aku sangat berharap yang berada dibelakang Pipi itu Dira… ternyata bukan, dia Anjar…
“Gak nyangka yach… kamu malah dioperasi, kirain Cuma maag doing…” ujar Pipi,
“Iya… aku juga kaget Pi… oiya… Dira tau aku sakit?” tanyaku sedikit berbisik,
“Tau… dia bilang sich dia mau kesini…” jawab Pipi berbisik juga agar Anjar tidak mendengarnya,
“Kamu cepat sembuh yach Na…” ujar Anjar yang memegang lenganku, aku hanya tersenyum dan menggangguk. Anjar memang sangat baik, dia adalah anak lelaki yang pintar. Tapi sungguh aku sangat menantikan Dira… bukan Anjar… aku ingin Dira yang memperhatikan aku bukan Anjar…
***
Kesehatanku sudah membaik, aku hanya butuh istirahat satu minggu setelah pulang dari rumah sakit. Dan setelah itu, aku masuk sekolah seperti biasanya.
“Ana… kamu udah sembuh?” Nurani menyambutku diambang pintu kelas ketika baru saja memasuki kelas,
“Iya… udah baikan Ni…” jawabku sambil duduk dikursi paling depan seperti biasa. Tak lama kemudian aku melihat sosok Dira masuk kelas, dia menyapaku dan tersenyum… matanya menatap penuh makna, entah apa yang ingin ia sampaikan, aku hanya mampu membalas senyumnya saja.
Dan hal seperti itu selalu terulang setiap paginya… Dira hanya menyapa, tersenyum, dan kadang-kadang mencuri perhatian ketika sedang belajar. Aku selalu bertanya… apakah dia menyukaiku…? Tapi aku selalu membuang Tanya itu jauh-jauh… Dira itu mantan sahabatku, apa mungkin aku setega itu…? Tapi mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa… mungkin saja kan? Tapi mungkin tidak, karena Dira tidak pernah sedikit-pun bilang kalau dia suka.
Saat istirahat, tidak biasanya aku ingin sekali diam dikantin dan malas masuk kelas. Tiba-tiba Pipi menghampiriku dan berbisik, “Ada yang pengen ngobrol tuch…”, aku memandang seseorang yang ditunjuk Pipi. Ternyata Anjar… dia berdiri di dekat pintu kantin sekolah. Aku menghampirinya…
“Gimana udah baikan sekarang?” Tanya Anjar dengan nada yang lembut,
“Udah… ada apa? Pipi bilang kamu mau ngobrol sama aku?” tanyaku,
“Maaf yach Na… aku gak tau mesti gimana ngomongnya…” Anjar terbata-bata dan sedikit bingung… akhirnya dia mengungkapkan perasaannya… perasaannya yang masih menyayangiku… aku hanya mampu terdiam dan berpikir, apakah mungkin ini yang terbaik, aku terima saja Anjar yang sudah sangat baik padaku, perhatian dan lebih perduli padaku… Dira hanya mampu membayangiku saja tanpa hadir dalam dunia nyataku.
“Yawdah… kita jadian lagi aja Jar…” jawabku datar, aku melihat kebahagiaan dimata Anjar. Dan mulai saat itu, Anjar selalu ada memperhatikan setiap apapun yang berhubungan dengan diriku di sekolah.
Setelah saat itu… aku tidak tau apa yang dipikirkan Dira dan aku tidak mau perduli. Walaupun aku selalu mengharapkannya… dekat dengannya… berteman dengannya itu sudah cukup membahagiakanku.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah berada dikelas, seperti biasa menyiapkan absen dan merapikan meja untuk guru.
“Ehm…” suara Dira jelas terdengar dibelakangku, aku cuek saja mengisi absen. “Hei…!” akhirnya dia menyapaku, tapi aku hanya meliriknya dan mengangkat alis sebelah kananku tanpa tersenyum sedikitpun. Sepertinya dia kurang nyaman dengan sikapku, namun dia tidak sempat bertanya kenapa… karena tiba-tiba saja Anjar datang sambil melempar senyuman manis padaku. Aku membalas senyumnya.
Dira memperhatikan kami, aku yakin tanpa diberitahupun dia pasti mengerti. Dia pasti tau bahwa aku menerima cintanya Anjar. Tapi sungguh tak ada yang berubah, walaupun aku sudah menjadi pacar Anjar, tetap saja aku sering bercanda dengan Dira… sering aku bertanya pada diriku sendiri, tidakkah ada perasaan suka dia untukku? Namun aku mencoba hilangkan Tanya itu dan kembali melihat Anjar, orang yang begitu baik apa mungkin aku sakiti.
“Bulan depan kita study tour ke Pangandaran…!” teriak Nurani dengan girangnya,
“Hmm… aku nggak mungkin ikut…” ujar Pipi,
“Yach… nggak asyik dong! Aku nggak ikut juga ach…” aku menyayangkan,
“Kamu mesti ikut Na, apalagi ada Anjar. Pasti kalian seneng bisa jalan ditepi pantai berduaan… ummm… romantisnya….” Ujar Pipi sambil menghayal senyum-senyum sendiri, sampai bunyi bel berbunyi “teeeeeeeeett………..” Pipi langsung kaget dan mulai duduk dengan rapi ketika Bu Lina, guru kesenian datang masuk kelas kami.
Kali ini Bu Lina masuk kelas dengan raut muka yang cerah… guru yang satu ini memang moody, kadang baik sekali… kadang galaknya minta ampun… tapi kadang-kadang juga lucu, aneh yach… :-/
“Gimana nich… bentar lagi kita mau studytour ke Pangandaran. Jangan lupa kalian siapin fisiknya jangan sampai sakit. Rugi lho kalau nggak ikut! Nanti kita akan ke batu hiu, cagar alam, green canyon… serulah kalian pasti suka” jelas Bu Lina.
“Wah pasti asyik banget… apalagi kalau bawa pasangan ya Bu?” Tanya Aldi yang duduk paling belakang. Kalau suasana sedang baik kami memang berani bercerita dan bertanya apapun kepada BU Lina, karena dia masih sangat muda jadi mengerti dan enak diajak bercanda.
“Hati-hati lho yang bawa pasangan, konon mitosnya… kalau kita pergi kesana sama pacar kita, itu bakalan putus lho! Tapi buat yang jomblo… pasti ada saja yang jadian disana!” jelas Bu Lina sambil tersenyum, entah itu hanya menakuti atau memang mitos itu benar-benar ada.
Aku terdiam sesaat… “Apa ini kesempatan bagiku untuk mutusin Anjar?” aku tidak tahu bagaimana caranya memutuskan orang sebaik dia. Kasihan dia bila terus aku bohongi… aku sudah tidak punya perasaan apa-apa… bukan dia yang aku suka.
“Tapi itu kan Cuma mitos… jadi tergantung pada kalian!” tambah Bu Lina sambil membuka buku Seni Tradisional.
***
Saat istirahat, aku duduk sendiri di depan kelas. Masih memikirkan apa yang dikatakan Bu Lina dikelas tentang mitos yang entah dari mana datangnya. Tanpa aku sadari Dira sudah berada disampingku…
“Ikut ke Pangandaran Na?” Tanya Dira,
          “Tumben dia nggak jahil dan meledekku…” bisikku dalam hati sambil memandanginya…
          “Na…! ikut ke pangandaran nggak?” Tanya Dira mengulang pertanyaannya,
“Oh… iya Di… aku ikut, kamu sendiri?” aku balik bertanya, 
“Males sich sebenernya…” jawabnya dengan lesu…
“Lho… ko gitu? Ikut aja Di… temenin aku yach?”,
“Temenin kamu? Kan udah ada si Anjar….” Dira menjawab keheranan, Ah… aku keceplosan… ngapain juga aku minta ditemenin dia…
“Ya biar rame aja Di… yach… ikut yach?” pintaku smabil senyum-senyum nggak jelas.
“Iya dech… buat kamu apa sich yang nggak!” jawabnya sambil menjulurkan lidahnya… hmmm… mulai dech dia menggodaku dengan candaannya itu.
***
“Dira… aku benci sama kamu… hmmm…”
Mataku memandangi langit-langit kamar, bukan menghitung dan memperhatikan cicak-cicak di dinding hehehe… tapi khayalku menari… rasa itu mendominasi harap yang sepersekian langkah lagi aku jangkau.
“Sayang…” mamah masuk kamarku, aku terperanjat dan langsung terbangun. “Kenapa?” Tanya mamah,
“Nggak apa-apa mah… oiya bulan depan ada studytour ke Pangandaran” ujarku,
“Oh… ya udah nanti bilang sama papah, sekalian catet apa yang mau dibeli buat dibawa kesana. Jangan lupa siapin jaket… obat, jangan lupa tuch!” pesen mamah. Mamah memang paling cerewet di rumah, aku termasuk beruntung hidup berkecukupan… tapi begitulah mamah dan papah yang sibuk kerja terkadang tidak bisa mengerti apa mau anaknya. Hmmm… akhirnya aku jadi anak yang tertutup tidak pernah bebas memberitahu apa yang aku inginkan… hitulah yang buat aku menjadi anak perempuan yang sangat pemalu hwehehehe… sekalinya berani malah malu-maluin ;)
***
3 minggu telah berlalu, akhirnya sampai juga pada hari dimana kami akan studytour ke Pangandaran.
“Na… nanti kita sekamar aja yach di penginapannya?” ajak Putri teman dekatku.
“Iya Put… Pipi nggak ikut, jadi aku sendiri nggak ada temennya. Yang lain udah pada pas 6 orang… bingung ikut gabung ma siapa, untung ada kamu” ujarku senang bisa bareng dia, aku memang banyak teman tapi aku tetap bersahabat baik dengannya walaupun kami berbeda kelas disekolah.
“Na… sini aku bawain tasnya…” Anjar mendekatiku dan menawarkan bantuannya,
“Nggak usah!” jawabku sinis.
Anjar sedikit malu diperlakukan seperti itu didepan teman-temannya. Dia mulai marah… aku sendiri tidak tahu… padahal tidak ada niat sedikitpun tuk bersikap seperti itu…
Kami mulai diabsen dan masuk bis sesuai kelompok kelasnya masing-masing. Untung kelasku satu bis dengan kelasnya Putri jadi aku bisa duduk dengannya. Dira duduk dibelakangku, sedangkan Anjar entah dimana… dia sibuk dengan banyak teman-teman perempuannya yang genit dan sok gaul gak jelas.
Ternyata perjalanan Pangandaran – Sukabumi itu lumayan melelahkan. Padahal aku sangat benci lama-lama berada dalam bis, mual rasanya. Untunglah kami istirahat dulu di sebuah taman dekat mesjid.
“Mau turun nggak Na…?” Tanya Putri,
“Iya…” sahutku sambil mengikutinya keluar dari bis. Tiba-tiba mataku menangkap sosok Anjar yang sedang asyik berkumpul ditengah-tengah anak-anak perempuan yang katanya gaul itu. Anjar tertawa… bersenda gurau dengan mereka. Jelas sekali dia senang berada diantara mereka, padahal ketika bersamaku dia biasa saja tidak seperti itu.
Aku duduk disamping Putri yang meneduh dikursi taman. Aku terdiam dan terus berpikir… aku sangatlah pendiam dan tidak pandai bergaul seperti teman-temannya Anjar. Dan lagi aku memang sudah tidak ada perasaan apa-apa padanya… apakah memang seharusnya ini dihentikan…? Sepertinya aku memang tidak cocok dengannya, aku harus jujur padanya.
“Put, bentar yach aku mau ngobrol sama Anjar dulu” Putri hanya menangguk dan memandangku Anjar yang sedang asyik disana. Aku berdiri dan menghampiri Anjar.
“Jar… Aku pengen ngomong…”
Anjar sedikit kaget dan memandangiku, “Iya Na… ngomong aja…”
“Aku nggak mau ngomong disini, gak enak sama temen-temen kamu. Di bis aja yach…?” pintaku, Anjar hanya mengangguk dan mengikutiku masuk bis.
Kami duduk dan sama-sama terdiam cukup lama. Sampai akhirnya aku mulai mengeluarkan suara…  “Aku pengen kita putus…”
Anjar kebingungan dan kaget mendengar kata-kataku, matanya menatapku tajam seolah mencari tau alasannya mengapa… “Kenapa?”
“Aku suka sama orang lain!” jawabku singkat dan sangat menyakitkan baginya, aku tidak bisa lebih menjelaskan bahwa aku tidak cocok dengannya atau karena aku minder tidak bisa seperti teman-teman perempuannya itu. Pada dasarnya semua dikarenakan aku memang sudah tidak punya perasaan apa-apa dan aku menyukai orang lain… jadi lebih baik jawabannya seperti itu.
“Siapa…?” tanyanya lagi,
“Bukan urusanmu!” jawabku,
“Apa dia juga suka sama kamu?” tanyanya,
“Aku nggak tahu! Dan aku tidak perdulu, kamu tidak perlu tahu. Yang penting aku udah jujur sama kamu”
“Oke… mudah-mudahan kamu bisa bahagia sama dia, tapi kalau suatu saat dia nyakitin kamu… aku nggak akan tinggal diam Na!” jawabnya sebelum pergi meninggalkan kursinya dan keluar dari bis.

- To be continue-

Friday, February 17, 2012

PEREMPUAN DIBALIK PEREMPUAN


          Terik mentari begitu menyengat, keringat menguap… sore itu Adel asyik bermain game dikomputernya. Liburan membuatnya teramat sangat membosankan… tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, kepalanya penuh dengan rasa kekhawatiran dan takut menghadapi hal-hal baru.
          Sejenak ia menghentikan gerakan jarinya diatas mouse, “Bagaimana kabarnya…?” sesekali Adel merenung… entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba saja ia ingat lagi masa lalu yang sempat merenggut nyawanya. Adel meraih handphone-nya dan mencari sebuah nama dibarisan huruf ‘J’.
          “Masih aktif nggak yach…” Adel bertanya dalam hati dan ia mencoba mengetik sebuah nama lalu mengirimkannya. Ia terdiam sesaat… lalu melirik layar handphone-nya… berharap ada sebuah balasan… namun tetap tak ada. “hmmm… mungkin dia udah genti nomer…” bisiknya sedikit kecewa.
          Karena bosan Adel mematikan komputernya dan lalu ia menyalakan TV, menonton sebuah acara reality show yang dibintangi seorang pelawak kocak yang menghipnotis sepasang kekasih agar mengeluarkan unek-uneknya. Sesekali ia tertawa kecil melihat kekocakan pelawak dan orang yang dihipnotisnya…
          Tiba-tiba Hp Adel bunyi, ada panggilan dari nomer yang tidak ia kenali. Adel mengangkatnya, “hallo…” suara yang tak asing lagi ia dengar dari sana… sedikit kaget… “Benarkah…?” bisik Adel dalam hati, masih tidak percaya siapa yang meneleponnya saat itu.
          “Hai del… gimana kabarnya?” Tanya Joe dari sana,
          “Aku baik-baik saja Joe… kamu sendiri?” Adel menjawab dengan nada yang aneh, ia masih dalam kondisi kaget dan bingung entah harus seperti apa menjawabnya.
          “Yaaa… aku sich masih gini-gini aja. Mamah gimana sehat? Adik-adikmu…?” Tanya-nya lagi dengan suara yang khas.
          “Mereka sehat…” jawab Adel singkat, ia benar-benar bingung… jantungnya serasa mau copot… deg-degan dan akhirnya hanya mampu terdiam.
          “tumben kamu sms Del… ada apa?” Tanya Jodi lagi,
          “Ummm… nggak apa-apa sich… Cuma pengen tau kabarnya aja” jawab Adel terbata-bata, ingin sekali ia menutupi rasa rindunya, namun ia tak mampu mengelak dia yang terlebih dulu mengirim pesan lantas apa alasannya… ia sendiri tak mengerti…
          “Oh… jadi Cuma iseng aja yach…” ujar Jodi,
          Adel tidak menjawab, ia hanya terdiam. Lantas mereka saling diam.
          “Ko diem aja…?” Tanya Adel sadar suasana menjadi sepi.
          “Gak apa-apa… ya udah nanti aku telepon lagi dech… dah Adel, assalamu’alaikum…”
          “Wa’alaikumsalam…” Adel menutup handphone-nya lalu terpejam… menghela napas panjang sampai akhirnya bening bening airmata menetes membasahi pipinya… ia menangis tersedu-sedu… merasa sakit-nya kembali terasa dan sangat membekas.
          Tiba-tiba Hp-nya berbunyi, ada sms masuk…
          ‘kalo ada apa2 yang aku bisa bantu bilang za… gak usah canggung, aku nunggu keajaiban za, gak tau hidup dah gak jelas’
          Adel tersenyum sinis setelah membaca kata-kata itu… “Kalau ada apa-apa??? Heuh… dia pikir dia siapa… kemana kamu ketika aku butuh? Kamu tidak pernah ada…” Adel diam lalu ia mengetik kata-kata bijak ia mencoba menahan amarahnya.
          ‘Aku pengen cerita sama kamu… agar aku nggak ada beban, boleh?’ Tanya Joe di smsnya,
          ‘apa? Cerita aja…’
          ‘aku sering mimpiin kamu Del…’
          ‘mungkin karena aku kangen kamu jadi aku dateng ke mimpi kamu… hehe… ah sudahlah, mimpi itu kan Cuma bunga tidur aja’ jawab Adel mencoba menyelipkan candaan walau sesungguhnya ia memang merindukan Jodi.
          ‘kamu tau… aku sering keluar malem Del, tubuhku makin kurus saja. Semua udah gak karuan… gak tau mesti ngapain. Aku tak seindah dulu… sudah buruk makin buruk…’
          Adel menghela nafas panjang, ia berfikir sejenak lantas mulai mengetik ‘aku tidak bisa membohongi diri sendiri, aku masih sayang kamu… dihati aku Cuma ada kamu… kamu yg dulu’
          ‘meskipun aku mencintai perempuan lain?’
          Adel terbelalak… ia mengingat kejadian-kejadian sebelumnya… dulu ketika berkali-kali Jodi selingkuh, berkali-kali dia dekat dengan perempuan lain…
          ‘aku tidak perduli kamu mencintai siapa… yang pasti aku masih sayang kamu mencintai kamu walau aku tau kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri…’ Adel menaikkan sebelah alisnya… ada makna lain dari semua kata-kata itu…
          ‘alhamdulillah… makasih yach, aku ingin terbuka semua tanpa ada sedikit-pun niatku untuk menyakiti kamu meski terlihat dan terasa aku yang menyakitimu’
          Adel tersenyum membaca balasan pesan Jodi, “terlihat…??? Kamu jelas-jelas menyakitiku Joe…” Adel berkata dalam hatinya… lantas ia mulai mengetik lagi… ‘siapa perempuan yang kau cintai…?’
          Jodi mulai menceritakan semuanya… semua perempuan yang terlibat hubungan dengannya. Mereka tau Jodi ketika itu masih kekasih Adel, namun mereka… perempuan-perempuan itu mau saja dijadikan yang kedua… dijadikan cadangan… dijadikan tempat dimana ketika Jodi tak menemukan apa yang ia inginkan dari diri Adel maka datanglah ia pada perempuan-perempuan itu… perempuan-perempuan yang lebih sabar dimata Jodi. Perempuan yang tidak selalu marah-marah seperti Adel, perempuan yang tidak posesif seperti Adel. Sampai akhirnya ia mengakui hubungannya dengan perempuan terakhir yang pernah Adel temui. Perempuan… yang sudah bersuami bahkan sudah memiliki dua anak. Adel pernah menemui perempuan itu hanya untuk memastikan bahwa tidak ada hubungan diantara ia dan Jodi, dan yang Adel dapat saat itu ternyata suatu kebohongan. Perempuan itu tidak mengakuinya, bahkan Jodi lebih memilih diam dan balik memarahi Adel dengan alasan malu masalah kecil dibesar-besarkan dengan melibatkan perempuan lain.
          Adel mengusap dada… ia mencoba tuk sabar, setidaknya ia sedikit lega… karena semua Tanya yang ia pendam selama ini terungkap… terjawab sudah. “kau benar-benar tega membohongiku…” Adel menangis lagi… tak tahan rasanya sakit itu… sangat mengiris hatinya.
          ‘aku sadar ini salah… tapi entahlah… entah ini cinta atau hanya nafsu saja. Dia juga begitu egois, tapi aku bisa terima meskipun suatu saat nanti aku terima dia sebagai janda’ Adel terbelalak lagi ketika membaca sms Jodi yang ini, kali ini Adel benar-benar kecewa… “sepertinya kau memang mencintai dia Joe…” Adel menahan sakitnya… bening-bening airmatanya terus menetes dikedua sudut matanya.
          ‘Aku capek kaya gini Del… aku slalu menuntut orang tuk menerima aku apa adanya, tapi aku pun gak bisa menerima orang lain apa adanya. Dia udah jadi milik orang lain, kenapa aku yang kebakaran jenggot jauh darinya’
          ‘Kalau kamu cinta sama dia… seharusnya kamu bisa merelekan dia memilih yang terbaik’ jawab Adel
          ‘Aku bener-bener lelah Del… aku semakin gak tentu arah… kata orang ibadah agama cinta itu bagaimana kitanya… tapi itu tidak berlaku untukku Del. Cinta itu apa sich? Aku sekarang jauh dari ibadah… bingung jadinya menghadapi hidup yang kaya gini… dimanakah Tuhan yang katanya punya segalanya bisa segalanya…’
          Adel tersenyum sinis, ‘Tuhan selalu ada dekat dengan kita namun kita saja yang selalu menjauhinya…’
          ‘Aku dah gak percaya lagi Del…’
          “heuh… kamu memang bodoh… dulu kamu yang selalu ingatkan aku tuk mendekatkan diri pada Allah… sekarang Cuma karena jabatan segala ada dan wanita… hidupmu jadi seperti itu…”
***
          Adel sudah segar dengan udara pagi dan embun-embun yang masih menempel didaun-daun hijau pekarangan rumahnya. Pagi itu ia tengah menjemur pakaian, sambil asyik mendengarkan lagu-lagu yang ia putar diruang tengah.
          Setelah semua pakaian basah itu ia jemur, matanya terpaku pada jalanan kosong yang masih sedikit diliputi kabut. Ia masih sering membayangkan seseorang dating dari sana… seseorang yang selalu ia sambut dengan riang, seseorang yang selalu ia sambut dengan senyuman, seseorang yang selalu ia sambut dengan kecupan. Adel tersenyum sendiri dan lalu meninggalkan halaman, ia masuk keruang tengah dan duduk dikursi panjang. Melepas penat sejenak, keringat masih menguap di dahinya setelah beberapa pekerjaan rumah ia kerjakan dari subuh.
          Adel meraih handphonenya, ia membaca kembali sms Jodi kemarin. Pandangannya sedikit menerawang… lalu mengingat kejadian-kejadian lalu… “tidak kusangka… kenapa kau bisa menceritakannya padaku…? Kau menyakitiku, tau aku mencintaimu lantas kau malah bercerita bahwa kau mencintai perempuan lain? Sungguh kejam…” Adel menyimpan handphonenya dan kembali menyelesaikan semua tugasnya dirumah.
***
          “Lu jadi kerumah si Rahma?” Tanya Binar sambil asyik BBM-an,
          “Kemaren sich kita janjian ketemuan diluar, tapi gue belum sms dia lagi” jawab Adel sambil memakai pelembab dan menambahkan ulasan bedak padat diwajahnya setelah segar karena udah mandi ;)
          “Bareng aja keluarnya, gue juga ada perlu ko mau ke mall sebentar…” ajak Binar,
          “Boleh boleh…” sahut Adel,
          “Ya udah sana lu genti baju…” ujar Binar yang masih melihat Adel pake baju tidur.
          Mereka-pun keluar rumah dan menuju rumah Rahma. Sesampainya disana, sebuah pesan muncul di handphone Adel,
          ‘kamu lagi dimana? Ketemuan yuk…’
          Adel kaget, ia membaca ulang pesan yang dikirim dari nomer Jodi. “haduh… gimana nich… apa yang harus aku lakukan nanti kalo ketemu dia, mesti gimana…” Adel sedikit resah.
          “Kenapa lu Del…?” Tanya Rahma,
          “Ma… sebenernya kemaren-kemaren Jodi ngehubungin gue lagi” ujar Adel,
          “Ngapain dia ngehubungin lu lagi? Ngerasa bersalah…?” Tanya Rahma,
          Adel menceritakan semuanya, “Disatu sisi… gue ngerasa lega karena semua rasa penasaran dan semua pertanyaan gue itu kejawab, tapi disisi lain gue tambah sakit dengan denger dia cinta sama cewek itu… tega banget dia…” jelas Adel.
          “ya udahlah… sekarang loe tau kan ternyata dia itu nggak baik buat loe...” ujar Rahma, “ya pastilah… kalo udah sayang kita susah ngelupainnya, tapi dengan kesalahan dia yang kaya gitu… dia tuch nggak pantes disayangi, nggak pantes buat loe Del…” tambah Rahma.
          Adel terdiam… ia menatap Rahma lalu berkata, “gue pengen ngebales dia, buat dia sakit… buat dia terpuruk…”. Tak lama handphone Adel bunyi, ada panggilan masuk… “Hallo…”
          “Del… kamu dimana? Gimana mau nggak ketemuan sama aku?” Tanya Jodi,
          “Oke… nanti yach aku masih dirumah temen nich” jawab Adel sambil melihat jam dinding dirumah Rahma.
          “Oke… nanti kabari lagi”
          Adel menutup Handphonenya, ia melamun… banyak hal yang ingin ia lakukan ketika bertemu Jodi nantinya. Banyak sekali khayalan-khayalan yang kurang baik, inginnya untuk menghajar mukanya, memukuli tubuhnya, menendang kakinya, menusuknya, membunuhnya… semua hal negative terpikir dan sangat ingin ia lakukan kepada Jodi, lelaki brengsek yang sudah menghancurkan hidup Adel.
          ***
          ‘aku udah difoodcourt’ sms masuk ke handphone Adel,
          Adel melangkahkan kakinya menaiki escalator dan menuju foodcourt mencari sosok Jodi yang sudah hampir satu tahun tidak pernah ia temui. Matanya menangkap sosok lelaki tinggi berjaket hitam sedang duduk dikursi sambil asyik merokok. Adel mendekatinya, ada senyuman dan pandangan yang sedikit canggung disana.
          “hey…” Adel tersenyum memandang Jodi yang sedikit kaget melihatnya,
          “Hai… Del…” mereka-pun bersalaman, Adel duduk tepat didepan Jodi.
          “Nggak kerja hari ini?” Tanya Adel membuka pembicaraan,
          “Tadinya sich mau ke Bandung, tapi nggak jadi. Besok mungkin ke Jakarta sampai hari senin” jawabnya sambil sesekali menghisap rokok.
          Mereka saling bertanya… bergiliran… basa basi… sampai akhirnya Jodi membahas masa lalu,
          “Sebenarnya aku bingung harus gimana, aku malu sama kamu… mamah kamu… keluarga kamu… aku udah ngecewain mereka tapi tidak ada kata maaf, aku nggak dateng tuk minta maaf… aku bingung aku takut aku malu…” jelasnya,
          “Kamu nggak usah minta maaf… udahlah… jangan khawatir” ujar Adel, “Kesalahan kamu terlalu besar percuma minta maaf-pun tidak akan pernah termaafkan” bisik Adel getir dalam hatinya.
          “Makasih yach Del… kamu udah bijak mau ngertiin aku…” ujar Jodi,
          Adel memandangi Jodi, lukanya terasa lagi… luka yang sangat dalam masih basah tidak sedikitpun ia perban.
          “Joe… aku sangat ingin membunuhmu… tapi mengapa ketika saat ini… saat aku bertemu denganmu… kau ada dihadapanku… aku malah diam dan hanya tersenyum… kenapa bukan kemarahan yang keluar? Kenapa bukan kebencian yang tercurah… kenapa harus hanya diam dan tersenyum…?” Adel bertanya-tanya dalam hati… ingin rasanya ia pergi dari tempat itu… berpaling dan tak lagi menatap lelaki itu… namun ia terus menahannya… menahan perih yang masih sangat terasa menyakitkan.
          “Kamu kenapa?” Tanya Jodi yang membaca gelagat aneh Adel,
          “nggak apa-apa… aku masih nggak percaya aja bisa ketemu kamu disini…” jelas Adel.
          “Gimana perasaan kamu sama aku sekarang Del?” Tanya Jodi,
          Adel tersenyum sinis, “pertanyaan yang tidak penting… bagaimana perasaan aku itu sudah tidak penting…” jawab Adel,
          “Hmm… ternyata kamu masih kayak dulu yach… sinis, jutek, saklek kalo ngomong langsung pada intinya” Jodi sedikit tidak nyaman dengan sikap Adel yang mulai menyudutkannya.
          “Itulah kamu… galak, makanya dulu aku takut sama kamu. Tapi anehnya… aku bisa kasar sama cewek-cewek laen… sedangkan sama kamu nggak pernah sedikitpun aku kasar sama kamu kan…?”
          Adel hanya terdiam dan mengangguk… ia mengingat masa lalunya, Jodi memang tidak pernah sedikitpun main tangan… malah Adel yang dulu pernah menamparnya dan bahkan menendangnya…
          “Yaaa… dulu kamu pernah pukul aku karena aku memang salah waktu itu…” ujar Jodi, “tapi mereka… bisa lebih sabar ngadepin aku… sedangkan kamu cepat marah… itu yang aku nggak suka” tambah Jodi.
          “Udahlah Joe… itu udah jadi masa lalu kita, aku saying sama kamu… sampai saat ini belum ada lelaki manapun yang bisa menggantikan Jodi di hati aku… Jodi yang dulu… karena aku tidak mengenal Jodi yang sekarang” ungkap Adel.
          “Iya kamu bener Del, Jodi yang sekarang udah berubah… udah nggak kayak dulu” ujar Jodi mengeluh akan dirinya yang merasa terpuruk dengan hidupnya yang serba tidak jelas. “Aku juga tidak bisa hidup tenang kaya gini itu karena aku pernah melakukan kesalahan sama kamu Del…”
          Adel tersenyum… “Joe… Aku pertama kenal pacaran dan mulai tau seperti apa itu cinta karena aku mengenalmu… kamu orang pertama yang aku cintai… dan aku pernah berharap ingin sekali kamu jua nanti yang akan menjadi cinta terakhir dalam hidup aku. Aku mencintai seorang Jodi… sampai saat ini. Tapi Jodi dimataku sudah mati… sudah tidak ada. Karena sekarang aku tidak mengenalimu Jodi yang baru… aku menganggap kamu orang baru Joe karena kamu sangat berbeda dengan Jodi yang aku cintai. Kamu yang ada dihadapan aku sekarang adalah Jodi, hanya seorang teman biasa sama seperti yang lainnya…” jelas Adel sambil menahan pedihnya.
          “Jangan membuat aku semakin merasa bersalah Del… aku nggak tau mesti gimana, kata maaf gak akan cukup membayar semua kesalahan aku sama kamu…” keluh Jodi.
          “Jangan berkata seolah-olah kamu merasa bersalah… aku memang membencimu Joe…”
          “Lantas dengan apa aku bisa membalasnya?”
          “Ah sudahlah… aku harus pulang. Udah sore…” jawab Adel mengalihkan pembicaraan.
          “Makasih yach kamu udah mau ketemu aku Del…”
          Adel hanya tersenyum… seperti biasa senyuman manis… “Kata maaf saja memang tidak cukup Joe, aku senang melihatmu terpuruk saat ini dan aku akan membuat perempuan itu mencariku seperti dulu aku mencarinya… kamu tidak akan pernah tenang Joe… kamu harus merasakan sakit yang dulu aku rasakan…” janji Adel pada dirinya sendiri sambil menatap Jodi yang melangkah pergi.

(lanjutan 'Aku tidak mengenal Valentine') - salam 'ntar ;)