2. Si Bulu Kuda
Ana masih kesal dengan surat yang dibacanya tadi, dia melamun dalam kelas… “Udahlah Na…dia tuch emang bego aja, masa malah suka ma yang nulis suratnya. Berarti sama teh Usi donk? Suka ma yang lebih tua? Padahal kan kamu cantik Na. udahlah jangan dipikirin….” Putri mengusap-ngusap bahu Ana, Wiwin yang sudah tahu dari Putri bagaimana kagetnya Ana ketika membaca surat dari Boim itu-pun ikut menemani Ana dan menghiburnya.
“Hey Na…?” tiba-tiba Reza mendekati Ana, Wiwin dan Putri yang kesal dengan candaannya Reza yang selalu garing itu diam-diam meninggalkan Ana dan reza.
“Eh…pada kemana…? Kabbur mereka…” ujar Reza,
Ana masih terdiam dan memikirkan Boim,
“Na, lagi patah hati ya? Hmhh… kalau mau tau si Boim suka apa nggak ma kamu, kenapa gak panas-panasin aja? Kalau dia cemburu, itu artinya dia suka sama kamu Na!” Reza ceplas-ceplos aja menjelaskan sebuah jurus penakluk cinta yang entah darimana ia tau,
“Tapi sama siapa… anak-anak cowok di kelas kan pada culun semua termasuk kamu tuch!” ujar Ana,
“Ada… dan dia masih temen deketnya Boim…”
Ana mengernyitkan alisnya, “siapa Za?”
“Gingin….” Jawabnya pelas,
“Hahh? Ketuaan buat aku dia mah… ich…nggak ah, takut…” Ana geleng-geleng kepala,
“Ya kan Cuma pura-pura say….!” Jelas Reza.
**
Ana, anak perempuan yang pendiam ini bertubuh gemuk. Rambutnya panjang terurai bergelombang agak pirang. Kulit-nya yang putih membuat dia tampak cantik dan imut. Namun selalu… tidak bisa ia pungkiri, kelebihan lemak ditubuhnya membuat ia selalu diolok-olok temannya di mana-pun. Apalagi ketika ia minta di potong rambut karena selalu merasa gerah. Mamah memotong rambut Ana sampai pundak. Potongan anak lelaki, itu membuat Ana jadi tampak lebih bulat. Tapi Ana tidak pernah marah pada siapapun yang mengoloh-oloknya.
Sore itu, seperti biasa Wiwin main ke rumah Ana. Ada saja yang mereka mainkan setiap sore-nya. Kadang bermain congklak, main karet, main boneka, bepe-bepe an, bekel, sondah,dan yang lainnya. Tapi permainan sering mereka mainkan itu congklak, walaupun Ana selalu dikalahkan Wiwin, tapi dia selalu senang kalau ada temannya main ke rumah menemaninya.
“Ana…Ana….!” Teriak Wiwin dari halaman rumah Ana,
“Bentaaaaaaaar…!” sahut Ana sambil berlari dari dapur,
“Masuk Win, Ana baru bantuin mamah masak. Udah beres ko, bentar Ana shalat dulu ya!” Ana membiarkan Wiwin menunggu. Ana bukanlah anak yang rajin shalat atau pintar mengaji. Tapi semenjak pamannya (adik ayahnya) tinggal dirumah, ia selalu di ceramahi. Paman yang cerewet dan selalu mengingatkan Ana shalat, ia juga yang mengajari Ana mengaji. Maka dari itu, Ana lebih takut pada pamannya daripada sang Ayah.
“Mau main apa Win?” tanya Ana setelah keluar dari kamarnya,
“Na, ada Gingin di depan sana!” bisik Wiwin sambil menunjuk ke arah pintu gerbang rumah Ana,
“Hhahhh!?” Ana kaget dan celingukan, “Mo ngapain…?” tanyanya,
“Pengen ngomong ma kamu tuch katanya, gak tau dech apaan…”
Ana bingung dan terdiam,
“Udah temuin dulu aja, yuk…” Wiwin menarik lengan Ana, mereka-pun keluar menemui Gingin yang lagi jongkok depan rumah Ana bersama temannya.
“Mau ngapain sich?” tanya Ana,
“Eh…Ana, aku mau ngomong…” ujar Gingin,
“Disana aja dech ngobrolnya, jangan disini!” pinta Ana sambil berjalan menuju jembatan dekat kavling lingkungan rumahnya itu.
Wiwin dan temannya Gingin-pun mengikuti dan menemani mereka.
“Apa…?” tanya Ana langsung tanpa basa-basi,
“Kamu mau gak jadi pacarnya Gingin?” tembak Gingin,
Ana tercengang, “Ya ampun, ini pertama kalinya aku di tembak…tapi kenapa malah sama si Gingin ini….haduuuh….gimana nich, aku nggak mau, takut… mukanya serem gitu…” bisik Ana dalam hatinya.
“Sst…” Wiwin menyenggol lengan Ana, “terima aja…”
“Kalau dia macem-macem gimana… hmhh… tapi kata Reza, kalau mau tau Boim suka ma aku pa nggak, buat dia cemburu aja… apa ini kesempatan aku buat manas-manasin si edan edun ntu…” Ana masih berbicara dalam hatinya, ia berpikir cukup lama membiarkan Gingin menunggunya.
“Na…?” Gingin membuat Ana berhenti lama-lama berpikir,
“Iya dech….” Jawab Ana singkat.
Mereka bersalaman lalu berpisah begitu saja, mungkin dengan mereka bersalaman itu menandakan mereka sudah resmi pacaran. Tapi sikap Ana tetap tidak baik menghadapi Gingin yang ditakutinya itu.
Gingin pulang bersama temannya, Ana-pun mulai melangkah kembali ke rumahnya bersama Wiwin. “Win pan heureuy tadi Na, ko jadi diterima beneran?” tanya Wiwin polos, Ana melirik Wiwin “Tenang aja, ini caranya kita nyari tau tu si edan edun the suka nggak ma Ana” jelas Ana sambil berjalan.
“Na…!” seorang bapak-bapak memanggilnya dari rumah Beben,
“Siapa tu Na?” tanya Wiwin,
“Papahnya si Beben….” Jawab Ana, “Iya pak?”
No comments:
Post a Comment