Kebun kecil itu masih tetap indah… bunga-bunga cantik masih tertata rapi… secantik gadis yang hampir setiap sore menyiraminya. Namun dia tidak pernah terlihat lagi, tidak pernah mau menemuiku lagi.
***
“Brak…braak…” entah apalagi yang ibu pecahkan dikamarnya.
“Tolong Bu… Bapak ini sedag susah, jangankan untuk beli barang mewah atau perhiasan… untuk biaya anak-anak sekolah saja Bapak kewalahan !”,
“Akh… selalu saja seperti itu ! Nyesel saya kawin sama Bapak…” teriak ibu sambil bergegas keluar rumah. Seperti biasanya ibu pergi sampai larut malam.
Hampir setiap hari… rumah tidak pernah sepi, pasti ada saja yang diperdebatkan. Aku muak… bosan dan mulai tidak betah di rumah. Aku lebih sering keluyuran diluar, hingga suatu hari aku main basket di sekolah lain. Ada pertandingan basket kecil-kecilan saat itu.
Usai bertanding, aku duduk di kursi depan kelas yang sedang diisi anak-anak OSIS. Sepertinya mereka sedang mengadakan rapat disana, entah acara apa yang sedang mereka bicarakan. Aku meneguk sebotol air mineral sambil menyeka keringat… tiba-tiba mata ini menangkap sesosok gadis ayu yang sedang duduk manis di dalam sana.
“Lang… cabut yuk…! Kita mau pada bikin acara di rumah Nadia…” Dani menghalangi pandanganku, “Ah… lu ngalangin aja sich Dan…” aku menarik lengan Dani dan memandangi gadis itu lagi, “Eeeeh…ayo ah…” kali ini Dani yang menarikku keluar dari sekolah itu.
***
Keesokan harinya, aku sengaja melewati sekolah itu berharap bisa memandangi atau mungkin berkenalan dengan gadis yang kemarin aku lihat.
Pelan-pelan aku menggas motorku, sepertinya semua siswa sudah pulang. Sekolah begitu sepi, aku diam sejenak… lalu memutar motorku hendak kembali namun tiba-tiba gadis itu keluar dari gerbang sekolah.
Aku langsung menyalakan motorku dan mulai menghampirinya, “Baru mau pulang?” tanyaku, akh pertanyaan itu keluar begitu saja.
Dia sedikit melirik lantas meneruskan langkahnya dan berhenti di pinggir jalan sambil celingak celinguk.
“Aku anter yach…?” tanyaku lagi, tapi dia diam saja dan ketika angkot biru berhenti dia langsung naik tanpa menghiraukan aku. Aku tetap memandanginya… sampai angkot itu melaju dan menjauh…
Sejak hari itu aku tidak bisa tidur… paras gadis ayu itu terus ada membayangi, masuk dunia mimpi dan khayalku. Akhirnya… aku berusaha mencari tau tentangnya. Siapakah gerangan dirinya…
***
Siang itu aku datang lagi ke sekolahnya, kebetulan saat itu sekolah masih ramai. “Hei Lang… tumben loe ada disini, kita kan nggak ada tanding basket hari ini…” tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Nadia yang ternyata ada disana.
“Loe sendiri ngapain disini Nad…?” aku malah balik Tanya sambil celingukan mencari-cari gadis itu,
“Iseng aja gue lewat sini…” jawabnya, “Loe nyari siapa Lang?” tanyanya lagi,
“Mmm… Gue… bentar Nad…” aku menangkap sesosok gadis cantik diantara canda tawa teman-temannya,
“Hey……” Nadia mengagetkanku,
“Eh… sorry Nad… gue…”, “Liatain siapa loe Lang?” dia sepertinya tau siapa yang aku pandangi itu,
“Wina…?” Nadia menyebutkan satu nama,
“Siapa Wina…?” tanyaku langsung melirik Nadia,
“Ya itu cewek yang loe liatin daritadi…” jelas Nadia sambil menunjuk gadis itu,
“Namanya Wina???” tanyaku semangat,
“Yo’i… dia Wina anak kelas satu. Dia salah satu anggota OSIS yang juga ikut Paskibra, pelatihnya itu temen gue. Suka loe…? Banyak saingan loe Lang…!” jelas Nadia sambil menepuk pundakku.
“Halah… nggak peduli gue… loe tau nomer telponnya Nad?” Tanya gue penasaran,
“Loe cari tau aja sendiri…” jawabnya cuek,
“Yach… gimana sich loe katanya sohib gue… bantuin donk…” pintaku,
“Mmm… gue sich gak tau, tapi bisa gue usahain syaratnya kalau berhasil loe harus traktir gue?!” ujar Nadia sambil senyum lebar,
“Sip sip… gampanglah bisa diatur”
***
Sore yang cerah, saat itu Wina sedang menyirami bunga di kebunnya. “Kriiiing… Krriiiiiing………” deringan telepon dari ruang tengah terdengar nyaring, “Mbok… tolong angkatin telponnya…!” pinta Wina,
Mbok Minah berlari dari dapur dan langsung mengangkat telepon, “Halo… wa’alaikumsalam… siapa? Sebentar yach…” Wina mendengar suara Mbok Minah yang menerima telepon.
“Non Wina… ada telepon nich…” Mbok Minah menghampiri Wina,
“Dari siapa mbok?” Tanya Wina sambil mematikan kran air, Mbok Minah hanya menggeleng tidak tau.
“Halo…”
“Hai, Wina yach…? Apa kabar…?” sapaku,
“Ya, siapa nich?” Tanya Wina,
“Kenalin aku Elang… sebelumnya kita pernah ketemu tapi kamu nggak kenal aku. Nggak apa-apa kan aku telepon kamu?” tanyaku,
“Yaaa… gak apa-apa, tapi maksudya mau apa?” tanyanya terdengar bingung,
“Aku Cuma pengen temenan aja, boleh kan?” tanyaku menegaskan,
“Ya… kalau sekedar temenan sich gak apa-apa…” jawabnya.
Sejak saat itu, aku mulai dekat dengan Wina.
***
Malam itu begitu pekat, putaran jarum jam di ruang tamu membuatku terjaga.
“Darimana saja ibu ini…?” terdengar suara Bapak yang baru keluar dari kamarnya,
“Arisan…” jawab ibu sambil ngeloyor masuk kamar dan mengganti pakaian,
“Arisan…? Sampai selarut ini…?” suara Bapak sedikit meninggi, “Itu apa yang kamu bawa bu?” Tanya Bapak lagi, sedikit curiga melihat bungkusan yang dibawa Ibu.
Hmmm… mereka ribut lagi, sekarang Bapak menjadi sama kerasnya. Mungkin sudah lelah terus menerus bersabar melihat tingkah ibu yang sudah keterlaluan.
“Sudah… tolong Bu…Pak… jangan berantem lagi, apa kata tetangga nanti kalau terdengar !” Kak Sari mulai menengahi.
“Dari kemarin saja Ibu sudah malu sama tetangga ! Ibu sering di ejek oleh ibu-ibu di komplek lain, karena tidak seperti mereka. Ketinggalan jaman, diajak shopping nggak pernah bisa, coba lihat perhiasan apa yang ibu punya? Bapak mu ini tidak sedikit-pun peduli… payah !” jawab ibu ketus sambil masuk kamar mandi.
Bapak hanya bisa diam, tenggelam dalam kepedihannya. “ Sudah Pak… sabar ! berdoa saja, mudah-mudahan ibu bisa berubah…” Kak Sari mencoba menenangkan Bapak.
***
Keesokan paginya, seperti biasa kami berkumpul diruang makan untuk sarapan. Ibu dan Bapak terdiam membisu, raut muka ibu begitu masam.
“Kriiiing……kriiiiiiiiing…” deringan telepon memecahkan keheningan, aku langsung berdiri dan mengangkatnya, “Halo… assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…” terdengar nada lembut seorang gadis disana,
“Wina…? Tumben kamu yang telepon. Ada apa?”
“Mmm… aku mau minta bantuan kamu, bisa kan?” pinta Wina,
“Kalau aku bisa pasti aku bantuin… apa Win?” tanyaku,
“Aku lagi nyari buku… siang ini kamu bisa temenin aku ke perpustakaan umum?” Tanya Wina,
“Oh… itu sich gampang, bisa bisa… jam berapa? Nanti aku jemput kerumah kamu”,
“Jangan jangan… kamu jemput aku di gang deket komplek rumah aku aja yach Lang…” pintanya lagi,
“Oke dech… I’ll be there”
***
“Mboook…… Mbok Minah… mana Wina ? kok jam segini belum pulang…?” Tanya Mamah Wina,
“Anu Nya… Non Wina bilang mau ke perpustakaan katanya mau ngerjain tugas, tadi Nyonya masih tidur. Non Wina nggak berani bangunin ” jelas Mbok Minah,
“Mah… papah keluar dulu yach…” Papah Wina sudah rapi bergegas pergi,
“Wangi banget… mau kemana? Ini kan hari minggu pah…” ujar mamah,
“Iya papah ada janji sama nasabah, mau nawarin bisnis kecil-kecilan…” jelas papah sambil mencium kening mamah dan pergi begitu saja.
Mamah hanya diam lalu kembali ke kamar melanjutkan kerjaannya yang di bawa ke rumah. Sampai akhirnya sore tiba…
“Makasih yach dah mau nganterin aku…” ujar Wina sambil melepas helm dan turun dari motorku,
“Sama-sama… tiap hari aja kamu minta ditemenin, aku pasti siap kok hehehe…” aku mulai menggodanya,
“Ah kamu… kenapa sich kamu mau nganterin aku tiap hari?” tanyanya sambil senyum-senyum,
“Karena aku suka sama kamu Win… kamu…”
Tiba-tiba seorang lelaki berdiri di dekat gerbang rumah Wina, “Mm… Lang… sorry yach aku nggak ajak kamu masuk rumah. Papah sama Mamah aku galak, aku nggak berani bawa temen cowok ke rumah…” jelas Wina sambil ketakutan,
“Itu papah kamu ?” tanyaku sambil melihat kearah lelaki yang sedang berdiri memperhatikan kami,
“Iiya… itu Papah aku… kamu mending cepet pulang Lang. Aku masuk dulu yach…” ujar Wina, aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku-pun menyalakan motor dan pergi meninggalkannya.
“Siapa dia…?” Tanya Papah,
“Itu temen Wina Pah…” jawab Wina kaku,
“Ayo masuk… papah juga baru pulang. Kenapa gak diajak masuk dulu tadi temannya…” Tanya Papah,
“Mmm… apa Papah nggak marah aku bawa temen cowok ke rumah?” Tanya Wina hati-hati,
“Kalau anak itu sich nggak apa-apa… keliatannya dia baik…” kata Papah.
***
Aku menikmati malam dengan membayangkan paras Wina yang ayu… aku benar-benar merindukannya. “Gimana kalau dia marah tadi gue bilang kalau gue suka ma dia…” tiba-tiba aku mengingat kejadian tadi sore…
“Hei Lang… ngapain kamu ngelamun sendiri di luar…? Udah malem, sana tidur…!” teriak kak Sari dari balik kamarnya yang secara tidak sengaja dia melihatku ketika menutup jendela kamar kecilnya.
Aku masuk melewati ruang tengah, Bapak masih menonton TV sambil meneguk kopi. “Belum tidur Pak?” tanyaku,
“Bapak masih menunggu Ibu… dia belum pulang, Hp-nya juga susah dihubungi…” jelas Bapak.
***
Di rumah Wina malam itu ada pertengkaran hebat. Tidak biasanya Mama Wina memarahi Papah sambil menangis tersedu-sedu. Wina tidak berani mendekatinya, dia hanya diam di kamar sambil bertanya-tanya sendiri.
“Kriiiing……Kriiiiiing…” tiba-tiba telepon rumah berdering, Wina langsung mengangkatnya tapi ternyata Mamah sudah terlebih dahulu menerima telepon yang diparalel ke kamarnya.
“Ya… halo…” ada suara lelaki terdengar dari sana.
***
“Nananana…nanana…” aku mengikat tali sepatu sambil nyanyi-nyanyi,
“Deuh… ceria banget… wangi pula… mau kemana nich?” Tanya Kak Sari,
“Biasa Kak… mengantar gadis pujaan… hehehe…” jawabku sambil senyum-senyum,
“Akh… kamu! Jangan lupa tahun depan kamu kan mau kuliah di Bogor. Jangan main perempuan terus…!” dia mulai menasehati.
“Tenang kak… aku nggak bakalan lupa…” jawabku sambil meninggalkan rumah.
***
Sedangkan di rumah Wina, Mamah Wina masih terlihat sedih. Matanya sembab… “Mah… mamah tidak mengajar hari ini…?” Tanya Wina sambil duduk di dekat mamah. “Mamah nggak enak badan nak…” jawab mamah dengan suara yang berat, “Mau ke dokter…?” Tanya Wina lagi, “Nggak usah, mamah Cuma butuh istirahat aja… nggak kenapa-napa…” jelas mamah.
Tak lama kemudian aku sudah berada di depan rumah Wina, dan Wina yang mendengar suara motorku langsung keluar sambil tersenyum manis.
“Yuk…” aku sudah siap mengantarnya,
Sesampainya di sekolah Wina, “Maafin aku yach… kemaren kamu dimarahin papamu nggak Na?” tanyaku,
“Nggak kok… papah nggak marah. Sorry yach Lang aku harus masuk udah telat kayaknya” sahut Wina sambil berlari memasuki gerbang yang hampir saja dikunci satpam.
“Win… tunggu… Masalah kemaren ? Gimana ?” aku lupa menanyakan sesuatu,
“Aku harus memikirkannya dulu…!” teriak Wina.
***
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam… sudah pulang…” sapa mamah yang sedang mengobrol dengan seorang tamu,
Wina bersalaman dengan lelaki yang sedikit lebih tua dari papahnya. Lalu Wina masuk ke kamarnya sambil melamun. “Ko wajahnya nggak asing gitu yach… siapa bapak itu…?” Wina bertanya-tanya sambil mengingat sesuatu.
“Drrrt… Ddddrrrrrrrrrrt……” Hp Wina berbunyi,
“Ko udah pulang duluan…? Aku tadi jemput kesekolah kamu Na…” smsku sampai d Hp-nya Wina, tapi Wina tidak membalasnya.
“Astagfirullah… jangan-jangan…” Wajah Wina kaget sendiri sambil memutar-mutar otaknya… bertanya-tanya… dan menyadari sesuatu.
“Wina… sayang… sini dulu sebentar…!” teriak mama dari ruang tamu,
Wina menghampiri mamahnya yang baru masuk setelah mengantarkan lelaki itu keluar rumah, “Ada apa mah…?” Tanya Wina sambil duduk di ruang tamu,
“Akhir-akhir ini kamu sering jalan sama anak laki-laki…?” Tanya mamah,
“Maksud mamah… Elang…?”
“Kalau mamah boleh minta, tolong jangan dekat lagi dengan anak itu…” pinta mamah,
“Kenapa… itu yang tadi siapa mah…?” Tanya Wina, “Jangan-jangan yang tadi malam nelepon yach…?”,
“Kamu…?”,
“Maafin Wina mah, semalam Wina denger percakapan mamah sama laki-laki itu. Dia suami perempuan yang godain papah selama ini yach?” tannya Wina hati-hati,
Mamah Wina mulai menitikkan airmata,
“Tapi mukanya… mirip Elang… dan mamah juga melarang aku deket sama Elang. Jangan-jangan… dia papahnya Elang ?” Tanya Wina penasaran sambil menebak-nebak,
Mamah Wina hanya mengangguk sambil menangis, dan mamah memeluk Wina seolah ingin menyampaikan betapa sakitnya perih hati mamah dan betapa betapa pilunya dikhianati.
“Jadi Elang anaknya perempuan yang selama ini merusak keluarga kita…?” Wina terlihat lemas, kepedihan benar-benar menyakiti hatinya sebelum bahagia tergapai… sebelum segalanya tersampaikan.
***
“Wina…! Tunggu…! Kamu ini kenapa…?” aku terus mengejar Wina, aku belum mengerti kenapa dia tiba-tiba menjauh dan sikapnya benar-benar berubah.
“Elang… aku udah tau semuanya…!” sahut Wina sambil terus melangkah cepat,
“Tau apa… emang ada apaan…?” tanyaku makin bingung,
Paras ayunya mulai memerah dan butiran-butiran airmatanya mulai membasahi pipinya yang cabi, “Kamu selama ini sekongkol kan sama mama kamu untuk menguasai harta papah aku ? atau jangan-jangan kamu sengaja ngebiarin papah kamu berusaha untuk ngejebak papah aku biar deket sama mamah kamu terus kalian minta ganti rugi gitu ???” semua kata-kata Wina membuat aku tertegun, kaget dan tidak mengerti.
“Maksudnya apa…?” tanyaku,
“Halah udahlah… Puas kamu melihat keluargaku hancur…? aku benci sama kamu Lang… aku nggak mau lagi ketemu kamu !” Wina menatap mataku tajam, ada amarah yang terpancar dimatanya yang bening, lantas dia pergi meninggalkan aku.
Itulah hari terakhir aku bertemu dengan gadis berparas ayu yang pernah mengisi hatiku… yang pernah menghiasi hariku… yang pernah ada disaat sepi melanda hidupku. Sekarang aku tidak bias apa-apa, keluargaku dan keluarganya sudah membuat sebuah perjanjian. Karena ayah Wina tidak mau meninggalkan keluarganya dan ibu-pun begitu, maka mereka-pun tak lagi berhubungan. Begitu juga dengan diriku… aku tak lagi berani mengganggu Wina, padahal disini… Disisi lain di relung hatiku… aku sungguh mencintainya dan aku tau bagaimana perasaannya padaku.
(Written by ‘Ntar okt 2004, based on true story that happened in 2001)
No comments:
Post a Comment