Gak kerasa, udah pake seragam putih biru lagi anak perempuan itu…ucapku sambil menunjuk diriku sendiri di depan kaca. “Lihat…Ana dah kayak mama belum mang?” Tanyaku pada paman ketika dia menutup rambutnya yang pendek dengan kerudung putih. “Iya dech… cantik ponakan mamang nie… makanya belajar yang rajin biar pinter biar kayak mamah nanti” ujar paman sambil menunjuk mamahku yang lagi asyik dengan pekerjaannya (membuat absen siswa-siswi baru). Aku memang sangat mengidolakan Mamah, seorang guru yang ulet dan bisa segala hal apapun itu dimataku. Mamah bisa menjahit, mamah bisa main music, mamah bisa mengajar, mamah bisa menyanyi, mamah bisa segala hal… dan Ana ingin sekali seperti mamah.
“Ana… udah siap belum?” seorang lelaki paruh baya memanggilku sambil menyalakan mesin motornya, “Iya paaaaah…. Sebentar!” aku mulai menggendong tas yang baru dibelikan mamah berikut buku dan peralatan sekolah yang lain, aku menyalami Paman dan Mamah, lalu berlari keluar rumah menghampiri lelaki berkulit putih dengan mata sipitnya yang persis kaya orang cina. “Yuk….” Ajakku pada Papah, Papah tidak banyak bicara dia langsung tancap gas setelah anak pertamanya ini naik di belakangnya. Itulah Papahku, Papah yang pendiam namun dia sangat baik, baik sekali.
Papah mengantarkan aku sampai depan gerbang SMPN 2 sekolah yang baru aku masuki beberapa hari ini. Sebenarnya sekolah itu bukan sekolah favorit yang aku inginkan, tapi apa boleh buat… Nem ku ketika lulus SD kecil, aku memang bukan anak yang rajin. Padahal mamah di rumah sudah mengatur jadwal belajar ku tiap hari. Dan mamang, adiknya papah yang galak itu selalu mengawasiku. Bayangin aja, setiap usai shalat isya aku nggak bisa nonton TV. Aku harus duduk di ruang belajar, sampai jam8 malam. Waaah… kalo ketiduran nich, bias-bisa kena bentak mamang. Terus kalo tiap pagi aku gak bangun sendiri, siap-siap aja pintu kamarku digedor-gedor mamang ditarik ke kamar mandi disuruh shalat, sungguh sangat menyebalkan. Tapi mamang memang baik, dia selalu mengajari aku berbagai hal.
“Ana….!” Seorang anak perempuan memanggilku,
“Dianterin Papah?” Tanyanya,
“Iya… kamu sendiri Put?” tanyaku balik setelah celingukan dan menyadari tidak ada anak lain lagi yang turun dari angkot yang ditumpangi Putri itu.
“Iya… kayaknya kita kesiangan dech…” ujarnya sambil melihat kesekeliling yang sudah mulai sepi,
“Hah? Masa… ya udah ayo cepet kita masuk sebelum gerbangnya ditutup Put…” aku langsung menarik lengan Putri sahabatku sejak TK itu, namun kita menuju kea rah yang berlawanan karena kelas kami berbeda. Putri masuk kelas 1-F sedangkan aku 1-B.
“Kok rame sich… udah ada gurunya belum ya…” aku bertanya-tanya, merasa takut dan malu jika seandainya di dalam kelas sudah ada guru dan aku nyatanya kesiangan.
“Eh… Ana… ko telat sich?” Tanya Eri dari balik pintu,
“Lho…belum ada gurunya yach?” aku malah balik nanya sebelum menjawab pertanyaannya Eri teman baruku itu. Dia Cuma menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Teman baruku itu memang manis, kulitnya putih dan dia jago banget nyanyi dangdut.
Aku masuk kelas dan duduk di kursi sambil meletakkan tasku. “Ehm… Na, dapet salam tuch…” tiba-tiba Sari berbisik dari belakang kursi yang aku tempati, “Siapa?” tanyaku sambil meliriknya, “Egi…” bisiknya lagi. Aku terdiam… sebenarnya sambil berpikir mataku mulai mencari-cari sesosok wajah yang bernama Egi dalam kelas itu…
“Woyy….!” Sari mengagetkanku,
“Hadeuh Sari… tadi bisik-bisik naha jadi ngagetin…? Yang mana sich orangnya?” tanyaku sambil celingukan,
“Tuh… yang duduk deket Farhan…” Sari menunjuk seseorang yang sepertinya sedang melirikku, hahaha… GeEr… bukan, dia tidak sedang melirikku tapi sedang mengobrol dengan Farhan. Eeeitz… tunggu tunggu… Farhan itu kalau nggak salah orang yang lagi deketin Putri. Iya bener… Ooh… Aku mulai ngelamun dech, “seandainya aku jadian sama Egi yang diceritain Sari itu, trus Farhan jadi sama Putri sahabatku… aku bakalan ada temen kalau jalan nanti, katanya orang pacaran kan pasti jalan berdua… kan malu, nah kalau Putri jadi sama Farhan… kan lumayan da yang nemenin…hehehe….” Pikiranku memang konyol…
“Gimana…?” Tanya Sari,
Aku memandangi Egi, yaaaa… lumayanlah untuk pertama kali masih enak dipandang, “Salamin balik dech…” jawabku sambil berhenti memandanginya dan mulai mengeluarkan buku.
“Beneran??? Waaaah… beruntung si Egi kalau bias jadian ama Ana nu geulis ieu… hehe…” Sari mulai menggodaku… sebenernya Sari apa Egi yach ni yang naksir aku ko Sari yang ngegoda aku…Lho?
**
Keesokan harinya… Besoknya dan hari berikutnya lagi… terus saja Sari menyampaikan salam dari Egi buat aku. Dan akhirnya aku bosan, dan mulai berpikir… jangan-jangan Sari ini sedang membohongiku, jangan-jangan Egi tidak pernah titip salam… lha sikapnya aja biasa-biasa aja kalau ketemu atau papas an gitu.
Dan akhirnya, aku berinisiatif menanyakan hal ini kepada Farhan.
“Iya Na… Dia emang pernah cerita ama Farhan kalau dia suka sama kamu…” hanya kata-kata itu yang aku dapat dari Farhan.
Esoknya, aku datang pagi sekali… dan yang kulihat pertama kali itu… bukan saudara-saudara, ternyata bukan egi tapi Sari.
“Anaaaaa………” Sari langsung mendekatiku saat aku masuk kelas,
“Na… Ada yang mau aku tanyain nich… amanat nich dari si Egi” ujarnya,
“Apaan Sar?” tanyaku datar,
“Kata dia… mau nggak jadi pacarnya…?”
“Haaahhh???!” kali ini mimic mukaku berubah benar-benar kaget. Pas waktu pertama di tembak Gingin dulu sich tidak sekaget ini… tapi kenapa yang ini… padahal bukan Egi yang nembak aku langsung waktu itu.
“Kenapa dia nggak ngomong langsung?” tanyaku,
“Malu Na…” jawabnya sambil duduk dikursinya, mungkin Sari lelah berdiri dan lelah melihat muka kagetku, makanya dia lemas dan duduk hehehe….
“Ah… jangan-jangan kamu bo’ong Sar…” aku maen tuduh saja,
“Ya ampun Na… ngapain Sari boong. Dia bilang gitu, kalau kamu terima… kamu harus jawab pake surat gitu, tapi kalau nggak mau terima ya udah lupain aja anggap nggak ada apa-apa…” jelas Sari.
Giliran aku yang duduk dan mulai melamun… “Egi itu nggak jelek-jelek banget sich… orangnya juga baek, kasihan kalau aku tolak gitu aja…” pikirku dalam hati.
Dan hari itu adalah hari pertama aku mulai menulis sebuah surat cinta… surat cinta untuk Egi. Aku menanyakan semua kata Sari dari awal sampai akhir, dan aku juga menjawab tembakan cinta lewat Sari, tidak lupa aku merangkai sebuah tandatangan di kertas putih itu…
Naaah…. Jadianlah aku sama Egi, dan setiap hari kami bertulis surat cinta. Padahal kami selalu bertemu, tapi sungguh sangat malu tuk langsung berbicara empat mata…hehehehe… sampai akhirnya, aku merasa bosan… benar-benar bosan dan memutuskan Egi lewat surat pula. Surat cinta untuk Egi, karena dia emang cinta monyet. Jadi surat itu-pun berakhir menjadi surat yang mengecewakan buatnya karena isinya bukan kata-kata manis lagi, melainkan kata putus. P-U-T-U-S.
“Ana… udah siap belum?” seorang lelaki paruh baya memanggilku sambil menyalakan mesin motornya, “Iya paaaaah…. Sebentar!” aku mulai menggendong tas yang baru dibelikan mamah berikut buku dan peralatan sekolah yang lain, aku menyalami Paman dan Mamah, lalu berlari keluar rumah menghampiri lelaki berkulit putih dengan mata sipitnya yang persis kaya orang cina. “Yuk….” Ajakku pada Papah, Papah tidak banyak bicara dia langsung tancap gas setelah anak pertamanya ini naik di belakangnya. Itulah Papahku, Papah yang pendiam namun dia sangat baik, baik sekali.
Papah mengantarkan aku sampai depan gerbang SMPN 2 sekolah yang baru aku masuki beberapa hari ini. Sebenarnya sekolah itu bukan sekolah favorit yang aku inginkan, tapi apa boleh buat… Nem ku ketika lulus SD kecil, aku memang bukan anak yang rajin. Padahal mamah di rumah sudah mengatur jadwal belajar ku tiap hari. Dan mamang, adiknya papah yang galak itu selalu mengawasiku. Bayangin aja, setiap usai shalat isya aku nggak bisa nonton TV. Aku harus duduk di ruang belajar, sampai jam8 malam. Waaah… kalo ketiduran nich, bias-bisa kena bentak mamang. Terus kalo tiap pagi aku gak bangun sendiri, siap-siap aja pintu kamarku digedor-gedor mamang ditarik ke kamar mandi disuruh shalat, sungguh sangat menyebalkan. Tapi mamang memang baik, dia selalu mengajari aku berbagai hal.
“Ana….!” Seorang anak perempuan memanggilku,
“Dianterin Papah?” Tanyanya,
“Iya… kamu sendiri Put?” tanyaku balik setelah celingukan dan menyadari tidak ada anak lain lagi yang turun dari angkot yang ditumpangi Putri itu.
“Iya… kayaknya kita kesiangan dech…” ujarnya sambil melihat kesekeliling yang sudah mulai sepi,
“Hah? Masa… ya udah ayo cepet kita masuk sebelum gerbangnya ditutup Put…” aku langsung menarik lengan Putri sahabatku sejak TK itu, namun kita menuju kea rah yang berlawanan karena kelas kami berbeda. Putri masuk kelas 1-F sedangkan aku 1-B.
“Kok rame sich… udah ada gurunya belum ya…” aku bertanya-tanya, merasa takut dan malu jika seandainya di dalam kelas sudah ada guru dan aku nyatanya kesiangan.
“Eh… Ana… ko telat sich?” Tanya Eri dari balik pintu,
“Lho…belum ada gurunya yach?” aku malah balik nanya sebelum menjawab pertanyaannya Eri teman baruku itu. Dia Cuma menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Teman baruku itu memang manis, kulitnya putih dan dia jago banget nyanyi dangdut.
Aku masuk kelas dan duduk di kursi sambil meletakkan tasku. “Ehm… Na, dapet salam tuch…” tiba-tiba Sari berbisik dari belakang kursi yang aku tempati, “Siapa?” tanyaku sambil meliriknya, “Egi…” bisiknya lagi. Aku terdiam… sebenarnya sambil berpikir mataku mulai mencari-cari sesosok wajah yang bernama Egi dalam kelas itu…
“Woyy….!” Sari mengagetkanku,
“Hadeuh Sari… tadi bisik-bisik naha jadi ngagetin…? Yang mana sich orangnya?” tanyaku sambil celingukan,
“Tuh… yang duduk deket Farhan…” Sari menunjuk seseorang yang sepertinya sedang melirikku, hahaha… GeEr… bukan, dia tidak sedang melirikku tapi sedang mengobrol dengan Farhan. Eeeitz… tunggu tunggu… Farhan itu kalau nggak salah orang yang lagi deketin Putri. Iya bener… Ooh… Aku mulai ngelamun dech, “seandainya aku jadian sama Egi yang diceritain Sari itu, trus Farhan jadi sama Putri sahabatku… aku bakalan ada temen kalau jalan nanti, katanya orang pacaran kan pasti jalan berdua… kan malu, nah kalau Putri jadi sama Farhan… kan lumayan da yang nemenin…hehehe….” Pikiranku memang konyol…
“Gimana…?” Tanya Sari,
Aku memandangi Egi, yaaaa… lumayanlah untuk pertama kali masih enak dipandang, “Salamin balik dech…” jawabku sambil berhenti memandanginya dan mulai mengeluarkan buku.
“Beneran??? Waaaah… beruntung si Egi kalau bias jadian ama Ana nu geulis ieu… hehe…” Sari mulai menggodaku… sebenernya Sari apa Egi yach ni yang naksir aku ko Sari yang ngegoda aku…Lho?
**
Keesokan harinya… Besoknya dan hari berikutnya lagi… terus saja Sari menyampaikan salam dari Egi buat aku. Dan akhirnya aku bosan, dan mulai berpikir… jangan-jangan Sari ini sedang membohongiku, jangan-jangan Egi tidak pernah titip salam… lha sikapnya aja biasa-biasa aja kalau ketemu atau papas an gitu.
Dan akhirnya, aku berinisiatif menanyakan hal ini kepada Farhan.
“Iya Na… Dia emang pernah cerita ama Farhan kalau dia suka sama kamu…” hanya kata-kata itu yang aku dapat dari Farhan.
Esoknya, aku datang pagi sekali… dan yang kulihat pertama kali itu… bukan saudara-saudara, ternyata bukan egi tapi Sari.
“Anaaaaa………” Sari langsung mendekatiku saat aku masuk kelas,
“Na… Ada yang mau aku tanyain nich… amanat nich dari si Egi” ujarnya,
“Apaan Sar?” tanyaku datar,
“Kata dia… mau nggak jadi pacarnya…?”
“Haaahhh???!” kali ini mimic mukaku berubah benar-benar kaget. Pas waktu pertama di tembak Gingin dulu sich tidak sekaget ini… tapi kenapa yang ini… padahal bukan Egi yang nembak aku langsung waktu itu.
“Kenapa dia nggak ngomong langsung?” tanyaku,
“Malu Na…” jawabnya sambil duduk dikursinya, mungkin Sari lelah berdiri dan lelah melihat muka kagetku, makanya dia lemas dan duduk hehehe….
“Ah… jangan-jangan kamu bo’ong Sar…” aku maen tuduh saja,
“Ya ampun Na… ngapain Sari boong. Dia bilang gitu, kalau kamu terima… kamu harus jawab pake surat gitu, tapi kalau nggak mau terima ya udah lupain aja anggap nggak ada apa-apa…” jelas Sari.
Giliran aku yang duduk dan mulai melamun… “Egi itu nggak jelek-jelek banget sich… orangnya juga baek, kasihan kalau aku tolak gitu aja…” pikirku dalam hati.
Dan hari itu adalah hari pertama aku mulai menulis sebuah surat cinta… surat cinta untuk Egi. Aku menanyakan semua kata Sari dari awal sampai akhir, dan aku juga menjawab tembakan cinta lewat Sari, tidak lupa aku merangkai sebuah tandatangan di kertas putih itu…
Naaah…. Jadianlah aku sama Egi, dan setiap hari kami bertulis surat cinta. Padahal kami selalu bertemu, tapi sungguh sangat malu tuk langsung berbicara empat mata…hehehehe… sampai akhirnya, aku merasa bosan… benar-benar bosan dan memutuskan Egi lewat surat pula. Surat cinta untuk Egi, karena dia emang cinta monyet. Jadi surat itu-pun berakhir menjadi surat yang mengecewakan buatnya karena isinya bukan kata-kata manis lagi, melainkan kata putus. P-U-T-U-S.